Jumat, 07 Oktober 2016

*Yang Halal, Yang Memberkahi*

Oleh: Humamuddin

"Mintalah kepadaku hai Sa'd, aku akan memohonkannya kepada Allah." Rasulullah bersabda seraya memandangnya. Sa'd bin Abi Waqqash tanpa berpikir panjang, langsung menjawab dengan cerdas, "Mohonkanlah kepada Allah, Ya Rasulullah, agar doaku mustajab."
Tersenyumlah sang Nabi, lalu bersabda,"Bantulah aku hai Sa'd, dengan memperbaiki makananmu." Sejak saat itu, ia selalu menjaga kehalalan makanannya, dan kelak di kemudian hari, kita tahu bahwa Sa'd, disamping terkenal dengan anak panahnya yang tepat sasaran, juga terkenal dengan doanya yang mustajab.
Menarik memang. Ketika membahas tentang fiqh puasa madzhab syafi'i, kita akan temukan bahwa pembatal puasa salah satunya adalah muntah dengan disengaja. Sekilas, bisa jadi dahi kita akan berkerut. Berpikir. Apa ya ada orang muntah disengaja? kurang kerjaan banget. Udah makan enak-enak kok dimuntahin. Buat apa coba? nggak bikin kenyang lagi. Tapi kenapa imam syafi'i berijtihad bahwa ianya adalah pembatal puasa?
Ternyata. Menyegaja muntah di zaman itu adalah hal yang biasa. Zaman dimana seseorang sangat memperhatikan kehalalan makanan yang dikudapnya. Zaman itu pernah ada dan bukan utopia belaka.
Lihatlah bagaimana Abu Bakar Ash-Shiddiq yang menyegaja muntah, tatkala tahu makanan yang dikudapnya adalah hasil pemberian tukang ramal. "Andai makanan ini tidak keluar, kecuali harus beserta keluarnya ruhku. Maka akan kulakukan." Ujarnya.
Bagi seorang muslim, memperhatikan kehalalan makanan adalah keniscayaan. Makanan yang halal akan menjadi sumbu ketaatan, membuat lembut hati, menguatkan akal, dan membuat terijabahnya doa.
Lihatlah pula bagaimana kontroversialnya sikap Asy-Syafi'i yang suatu ketika berkunjung ke rumah muridnya. Imam Ahmad bin Hanbal. Begitu Asy-Syafi'i dijamu makanan. Langsung saja ia memakannya dengan lahap, bahkan hingga tandas semua remah makanan yang ada. Melihat hal itu. Geleng-gelenglah putra Imam Ahmad sambil menanyakan kelakuannya itu. Orang Rakus. Begitu mungkin pikirnua. Tapi apa jawab Asy-Syafi'i?
"Nak, sungguh aku yakin bahwa makanan di rumah keluarga Ahmad bin Hanbal adalah makanan yang berasal dari sumber tersuci di bumi. Terjamin halalnya. Maka demi Allah, aku berharap berkah dari menikmati jamuan di rumah kalian. Berkah ini menjadikan kita mampu mentaati Allah di setiap keadaan. Maka tidak kubiarkan satu remah pun terbuang sia-sia, hingga aku santap tanpa sisa."
Ketika makanan yang masuk ke tubuh kita terjaga kehalalannya. Tubuh akan ringan memenuhi panggilan ketaatan. Adzan menjadi terindu. Membaca Al-Qur'an terasa syahdu. Bersedekah menjadi ringan terlaku. Bahkan jihad serta syahid di jalan-Nya menjadi yang tertuju. Begitu pula jika sebaliknya.
"Demi Allah, memastikan halalnya satu suapan ke mulutku, lebih kusukai daripada bersedekah seribu dinar." Demikianlah Ibnu Umar radhiyallahu anhu meneladankan kepada kita.
Dari mereka semua, kita belajar bahwa asupan yang halal adalah akar kebaikan, pelembut hati, dan hak surga atas kita. Sungguh, keberkahan itulah yang kita cari.
*Disarikan dengan berbagai perubahan dari buku Lapis-Lapis Keberkahan, Salim A. Fillah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar