Oleh: Humamuddin
Bagi saya, permen merupakan hal yang istimewa. Ianya punya kenangan tersendiri. Hehe.. Saya masih ingat di hari ketika teman saya, panggil saja Aulia, menyelesaikan setoran halaman terakhirnya, menggenapi 30 juz hafalannya. Aulia ini bocah pertama yang khatam di kelompok kami berdua belas. Masih kelas 3 SD waktu itu.
"Alhamdulillah, ini kan kamu udah khatam, Aulia," kata ustadz Ahmad sambil tersenyum, lalu melirik-lirik ke kami, "Syukuran dulu dong, hehe.. Ya paling gak pake permen, temennya dibagi satu-satu sana."
"Oh ya, Siap, tadz," temen kami yang satu ini lalu pergi ke koperasi pondok, membeli beberapa bungkus permen, kemudian dibaginya pada kami semua berdua belas. Riuh rendah kami menikmati syukuran sederhana tersebut. Dan akhirnya kegiatan ini menjadi tradisi di kelompok kami, setiap ada yang khatam, minimal syukurannya bagi-bagi permen. Hehe.. 😀
Lain waktu lagi, di suatu siang ketika kami sedang bersama, teman saya mengeluarkan permen dari sakunya. Hanya satu permen, sedang kami berempat. Maka ditaruhlah permen tadi di bawah kaki kursi. Dan Kress, kress.. hancurlah permen tersebut. Kami bagilah ia jadi empat, hingga masing-masing akhirnya merasakan permen tersebut. Haha..
Memang bukan seberapa besar nilainya, tapi yang penting esensi ukhuwahnya bukan? Begitulah, sejatinya dalam hidup, kita tidaklah perlu bermuluk-muluk dengan tampakan dan lihatan luar, justru fungsilah yang perlu kita perhatikan. Kalau memang hanya tersedia yang sederhana, mengapa kita harus paksakan yang tidak ada? 😊
Tidak ada komentar:
Posting Komentar