Senin, 09 Mei 2016

Inilah Saatnya Berhijrah!



“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang beriman untuk tunduk hati mereka guna mengingat Allah serta tunduk kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka)....” (QS. Al Hadid: 16)

            Lelaki itu diam tergugu, mulutnya membisu, tubuhnya yang perkasa bergetar hebat, seakan tubuhnya dilolosi satu persatu, lemah lunglai. Lalu tak terasa air matanya berderai. Entah siapa pelantun ayat bersuara merdu tersebut, seakan-akan ia baru pertama kali mendengar ayat di atas. Malam ini, niat menemui wanita pujaan hatinya ia urungkan. “Tentu saja wahai Rabbku, telah tiba saatnya.” Katanya.
Ia percepat langkah pulangnya. Namun, sayup-sayup ia mendengar sekelompok orang berkata, “Mari kita putar arah, karena biasanya Fudhail akan menghadang kita di jalan ini.” Lelaki itu merenung dalam diam, “Bagaimana mungkin namaku disebut-sebut di malam hari dalam perkara maksiat, dan mereka merasa takut kepadaku. Allah tiada menunjukkan ini kepadaku, melainkan agar aku sadar. Ya Allah, kini aku bertaubat kepada-Mu.”
Sejak malam itu, penyamun professional itu bertekad kuat, memutuskan untuk bertubat. Ia kemudian menyibukkan diri dengan belajar dan mengajarkan ilmu, dan menjadi ulama’ senior di kalangan tabi’in, seorang yang faqih, dan ahli hadits. Ia lah Fudhail bin Iyadh rahimahullah.
Banyak orang yang mengalami masa-masa kelam dalam hidupnnya, tapi yang bertaubatlah, berdasarkan ujaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yang disebut terbaik. Kisah taubatnya Fudhail bin Iyadh ini menjadi salah satu teladan dalam hijrah dan perbaikan diri. Sekelam apapun masa lalu seseorang, Ia tetap dapat menatap cerahnya masa depan. Allah lah Dzat Yang Maha Pengampun dan Pemberi Taufik.
Hijrah berasal dari kata hajara. Di dalam Al-Qur’an, hijrah memiliki 4 makna sesuai konteksnya, yaitu azala (meninggalkan), seperti dalam firman Allah (yang artinya) “..dan tinggalkanlah mereka dengan cara yang baik” (QS. Al-Muzzammil: 10); intaqola min baladin ila baladin (pindah negeri), seperti termaktub dalam ayat (yang artinya), “Barangsiapa berhijrah pindah ke negeri lain demi agama Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak (QS. An-Nisaa’: 100); sabba (tidak mengacuhkan dan mencela), seperti dalam firman Allah (yang artinya), “Berkatalah Rasul, ‘Ya Rabbku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al Quran itu sesuatu yang tidak diacuhkan (sasaran celaan)" (QS. Al-Furqon: 30); dan tahwiilul wajhi fil firoosyi ‘aniz zawjati (memisahkan atau membelakangi istri di tempat tidurnya) seperti dalam firman Allah (yang artinya), “...dan hendaklah kalian membelakangi mereka (pisahkan istri-istri kalian) di tempat tidurnya..” (QS. An-Nisaa’: 34).
Secara syar’i, hijrah dapat dimaknai dengan makna umum dan khusus. Pengertian yang bersifat umum, yaitu meninggalkan apa-apa yang dibenci Allah, dan berpindah menuju apa-apa yang dicintai-Nya. Sedangkan makna hijrah secara khusus, sebagaimana dinyatakan oleh Ibu Rajab al-Hambali, yaitu meninggalkan negeri syirik dan berpindah menuju ke negeri Islam.
Pada kesempatan kali ini, saya hanya akan membahas pengertian hijrah yang bersifat umum saja agar tetap sesuai dengan konteks pembahasan. Adalah Nabi kita, shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menyampaikan seruannya yang diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu, “Seorang muslim adalah orang yang Kaum Muslimin selamat dari lisan dan tangannya, dan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah” (Shahih Bukhori, dalam Kitabul Iman).
Melalui hadits tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menerangkan bahwa hakikat keislaman adalah ketundukpatuhan terhadap Allah dan pemenuhan hak sesama muslim. Dan menurut syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di rahimahullah, hadits ini juga menunjukkan hukum hijrah yang fardhu ‘ain bagi setiap muslim, yaitu hijrah meninggalkan dosa dan kemaksiatan, meninggalkan bujukan-bujukan nafsu untuk berbuat maksiat, dan sebagai gantinya melakukan berbagai ketaatan. Inilah hijrah menuju Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana Fudhail bin Iyadh yang mengurungkan niatnya untuk menemui wanita pujaannya, dan sebagaimana ia berteguh hati meninggalkan kebiasaanya menghadang orang-orang di jalanan dan menyamun harta meraka.
Makna hijrah yang dimaksud disini hampir mirip dengan makna taqwa yang kita kenal, yaitu melakukan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Ketika Allah menyuruh mukminin dengan taqwa, Allah berfirman (yang artinya), “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu...” (QS. At-Taghabun: 16). Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini, “Maksudnya, berdasarkan usaha dan tenaga kalian, sebagaimana ditegaskan dalam kitab Ash-shahihain, dari Abu Hurairah, radhiyallahu ‘anh, dia berkata, Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, ‘Apabila aku perintahkan kalian untuk mengerjakan sesuatu, maka kerjakanlah sesuai kemampuan kalian, dan apa yang ku larang bagi kalian, maka tinggalkanlah.’
Jadi, maksud dari bertaqwa menurut kesanggupan adalah melakukan perintah Allah dengan semaksimal mungkin, dan meninggalkan larangan Allah semuanya, tanpa terkecuali, karena meninggalkan larangan Allah tidaklah membutuhkan modal, seperti meninggalkan zina, mencuri, korupsi, berjudi, dan lain sebagainya. Ini tidaklah membutuhkan modal. Lain halnya dengan menjalankan perintah Allah yang terkadang masih membutuhkan modal, seperti menunaikan zakat, melakukan haji ke Baitullah Al-Haram, memberi makan orang yang kelaparan, mengajarkan suatu ilmu, dan seterusnya. Ini semua tentu membutuhkan modal yang tidak sedikit. Dari uraian tersebut, jelaslah sudah mengapa hijrah dalam konteks ini merupakan sebuah keniscayaan, dan kewajiban hijrah ini berlaku bagi setiap muslim, bagaimanapun dan kapanpun.
Lebih jauh lagi, Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah menyebutkan dalam Adh-Dhau’ Al-Munir’ala At-Tafsir bahwa pokok hijrah mencakup dua hal, yang jika tidak terdapat keduanya dalam diri seseorang, maka hijrahnya tidak sempurna. Dua hal ini adalah benci dan cinta. Maksudnya, seseorang meninggalkan apa yang dibenci oleh Allah, dan melakukan apa yang dicintai oleh-Nya, Ia membenci maksiat dan lebih mencintai ketaatan. Inilah yang disebut juga dengan Al-firar ilallah (berlari menuju Allah), dalam hal ini Allah berfirman (yang artinya), Maka berlarilah menuju Allah..” (QS. Adz-Dzaariyat: 50). Dalam tafsirnya, As-sa’di rahimahullah mengomentari ayat ini, “Maksudnya yaitu bergegas meninggalkan apa yang menjadi larangan Allah, baik secara batin maupun dhohir, menuju apa yang diperintahkan oleh Allah, baik secara batin maupun dhohir.”
Seorang yang berhijrah, ia bergegas dari adzab Allah menuju pahala-Nya. Dari kemunafikan menuju keikhlasan. Dari bid’ah menuju ittiba’ (mengikuti tuntunan). Dari berbuat dosa dan maksiat menuju ketaatan. Dari kelalaian hati menuju dzikrullah. Dari kekafiran dan kesyirikan menuju keimanan kepada Allah. Ia benci jika kembali kepada kekafiran sebagaimana bencinya jika ia dicampakkan ke dalam neraka. Jika seseorang sudah seperti ini, barulah ia akan merasakan betapa manisnya iman. Hatinya akan meleleh penuh cinta atas kasih sayang-Nya karena diselamatkan dari kekufuran. Hal ini senada dengan hadits yang diriwayatkan shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia menceritakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menuturkan, "Ada 3 hal, yang jika ada pada diri seseorang, ia akan merasakan manisnya iman, yaitu Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selainnya; mencintai seseorang, ia tidak mencintainya kecuali karena Allah; dan benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkan darinya, sebagaimana bencinya jika dicampakkan ke dalam neraka." (Muttafaq 'alaih).
Manisnya iman inilah yang membuat shahabat Bilal tetap tegar ketika disiksa dibawah terik matahari yang menyengat, dengan batu menindih tubuhnya. Kata yang keluar darinya hanyalah, Ahad! Ahad! Ahad!
Manisnya Iman inilah yang membuat Nabi Nuh alaihissalam tetap berbulat hati meninggalkan istri dan anaknya yang kafir. Inilah yang membuat Nabi Luth alaihissalam rela berpisah bersama pasangan hidupnya. Begitu pula Asiyah binti Muzahim, Istri Fir’aun, ia tak menuruti keberatan hatinya untuk berpisah dengan suaminya. Tak ketinggalan kisah mengenai Abu Bakar yang dengan tegas menghunuskan pedang untuk putranya yang kafir saat Perang Badar.
Ini pulalah yang menjadikan Sa’ad bin Abi Waqqosh, Mus’ab bin Umair, dan Asma’ dengan tegas bersikap kepada orang tua yang berlainan ‘aqidah dengan mereka. Tentunya tanpa meninggalkan adab agung yang diajarkan Allah dalam surat Luqman ayat 14-15.
Merupakan suatu keniscayaan bagi seorang yang sudah menautkan azzam untuk berhijrah dan perbaikan diri melakukan berbagai hal berikut, yaitu hendaknya ia menjauhi para pelaku maksiat dan memutus segala hal yang dapat menjadi perantara untuk kembali pada maksiat tersebut, kemudian mencari tahu dan mengetahui mengapa ia harus meninggalkannya, apa saja dampak yang akan ditimbulkan, dan bagaimana celaan Allah dan Rasul-Nya bagi pelakunya. Lalu ia juga harus mencari tahu dan mengenal berbagai bentuk ketaatan sebagai gantinya, bagaimana pujian Allah dan Rasul-Nya bagi pelakunya, dan berusaha berteman dengan orang-orang yang shalih. Yang tak kalah penting adalah berdo’a agar Allah memberinya keistiqomahan dalam kebaikan, memberinya hati yang sehat, sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Qayyim Al Jauziyyah dalam Al-Fawaaid, “Carilah hatimu di tiga tempat ini, di saat engkau mendengarkan Al Qur’an, di saat engkau berada di majlis dzikir (majlis ilmu), dan di saat engkau menyendiri bermunajat kepada Allah. Jika engkau tidak temukan hatimu di sana, maka mintalah kepada Allah agar memberimu hati karena sesungguhnya engkau sudah tak punya lagi hati!”
Sebagai contoh, misalnya ada seseorang yang mempunyai kebiasaan menonton film dan tayangan porno. Ketika ia berniat untuk meninggalkan kebiasaan buruknya, maka pertama ia harus menghapus semua file dan video di laptop, flashdisk, atau hardisknya yang berbau pornografi. Lalu ia mencari tahu apa saja dampak yang bisa ditimbulkan dari melihat tayangan porno bagi otak dan perilaku seseorang, dan mengapa islam melarangnya. Selanjutnya ia harus mencari kebiasaan baik sebagai gantinya, agar tidak terjerumus ke dalam maksiat serupa, semisal menonton video-video taushiyah atau menyibukkan diri untuk membaca buku atau karya-karya ulama, dan lain sebagainya. Dan bahkan, kalau perlu ia bisa menjual laptop atau hardisknya setelah sebelumnya ia menghapus konten pornografi, kemudian uangnya bisa disedekahkan kepada fakir miskin, sembari berdoa memohon kepada Allah agar diberikan istiqomah, dan membiasakan berpuasa. Atau jika ia sudah siap dan memiliki kemampuan untuk menikah, handaknya ia segera menikah sebagaimana yang dinasihatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Hal itu akan lebih menjaga kemaluannya dan lebih mampu untuk menahan pandangannya dari yang tidak selayaknya dipandang.
Contoh lainnya lagi, misalnya ada seseorang anak band yang mempunyai suara emas. Kesehariannya dihabiskan dengan memainkan gitar, naik turun panggung menyanyikan lagu-lagu yang liriknya menimbulkan syahwat dan penuh kesiaan. Suatu ketika ia menyadari kealpaanya dan ia ingin berhijrah menjadi pribadi yang lebih baik, maka hendaknya ia menjauhi musik-musik tersebut semaksimal mungkin, mencari tahu dan mengenali bagaimana musik dan nyanyian yang dibolehkan secara syara’, kemudian selanjutnya ia melakukan kebiasaan pengganti yang lebih baik, misalnya menggunakan suara merdunya untuk melantunkan dan menghafalkan ayat-ayat Allah. Atau mulai mempelajari dan mengikuti kajian-kajian ilmiah, berlatih menyampaikan khutbah dan taushiyah, dan seterusnya. Hendaknya ia juga menyibukkan diri dengan belajar dan berkarya, karena jika seseorang tidak disibukkan dengan hal baik, sudah barang tentu ia akan disibukkan dengan kemungkaran atau perbuatan sia-sia. Tak lupa juga, agar selalu memohon hidayah kepada Allah ta’ala agar terus diberikan istiqomah. Alangkah indahnya jika seseorang bisa melakukan hal tersebut!
Termasuk dalam lingkupan hijrah adalah bersikap tunduk patuh kepada syariat Allah. Seseorang yang berhijrah harus meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah dan apa yang Allah larang adalah pasti benar dan tepat. Tidak ada tawar-menawar dalam meninggalkan kemaksiatan atau dalam melakukan perintah-Nya. Walaupun mungkin pada awalnya berat, tapi pasti ada hikmah yang ingin Allah tunjukkan pada akhirnya. Allah berfirman (yang artinya), Dan tidaklah pantas bagi orang yang beriman lelaki atau perempuan, untuk memiliki pilihan lain dari urusan mereka pada saat Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang amat nyata” (QS. Al Ahzab : 36).
Untuk itulah, sekali lagi, seseorang yang berhijrah perlu mempelajari dan mengetahui berbagai keutamaan dan fadhilah amal, sehingga ia dapat terus termotivasi dan beristiqomah dalam kebaikan, bi idznillah. Mudah-mudahan Allah mampukan kita untuk terus melakukan hijrah dan perbaikan diri di setiap saat, hingga akhirnya kita berjumpa dengan Allah dengan keadaan khusnul khotimah. Aamiin. Wallahu A’lam.


DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Muhammad Ibrahim. 2003. Hijrah wa al-Muhajirin fi al-Qur’an wa as-sunnah. Cairo: Muassasah Mukhtar li an-Nasyr al-Tawzi’.
Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Abi Bakr Ibnul Qoyyim Al Jauziyyah. 2004. Al-Fawaaid. Kairo: Darul Aqiidah.
Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Abi Bakr Ibnul Qoyyim Al Jauziyyah. 2008. Adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir. Riyadh : Maktabah Daarus Salaam
Al-Imam Abul Fida Ismail Ibnu Katsir. 2000. Tafsir Al-Qur’anil ‘Adhiim (diterjemahkan oleh Bahrun Abu Bakar). Bandung: Sinar Baru Algesindo
Quthb, Sayyid. 2002. Tafsir Fii Zhilalil Qur’an, Di Bawah Naungan Al-Qur’an (diterjemahkan oleh As’ad Yasin). Jakarta: Gema Insani Press
Thalib, Muhammad. 2007. Kamus Kosakata Al-Qur’an. Yogyakarta: Penerbit Uswah.