"Ya. Yang kutahu namanya adalah sakinah. Bagaimanapun, kehadirannya selalu kunanti. Saat ia hadir di sisi, hati ini terasa nyaman, tenang sekali. Raga ini menjadi ringan. Beban berat terangkat, dan semua masalah yang ada sirna seketika. Dan kuyakin kawan, jika kau pernah menemui atau ditemui olehnya, pastilah kau akan merinduinya sangat, sama seperti rinduku padanya. Maka aku memohon kepada-Nya agar Dia menganugerahkannya untukku selamanya. Agar ia membersamai setiap langkahku, dan memberkahiku dengan hadirnya."
Inilah dia sakinah. Ketenangan dalam jiwa. Ketentraman dalam hati. Kenyamanan dalam sukma. Kejernihan pada pikiran. Dan kekuatan pada raga. "Dialah yang telah menurunkan sakinah ke dalam hati orang-orang mukmin.." [Qs. Al-Fath: 4]. Ketenangan inilah sikap seorang mukmin, yang hanya dengan dzikir lah cara meraihnya. "..Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenang." [Qs. Ar-Ra'du: 28].
Sejenak mari kita menyibak hikmah dari kisah seorang lelaki wara' yang tidak muluk harapnya. Apapun dilakukan demi kerelaan saudara muslimnya terhadapnya. Semata-mata hanya sakinah lah yang ingin diraihnya.
Di tepian sungai siang itu ia berada. Lapar yang menggayutinya membuatnya tak tahan untuk mengambil delima yang hanyut oleh air sungai. Dimakannya delima yang ranum itu. Manis. Tapi, baru beberapa gigitan, ia tersadar. Delima ini bukan haknya. Seharusnya ia tak memakannya. "Aku akan minta ridho dari empunya."
Berjalanlah ia menyusuri sungai hingga menemukan kebun delima. Ia datang kepada pemiliknya. Minta ridhonya. "Saya tidak ridho," kata si empunya kebun, "kecuali kamu mau bekerja disini tanpa digaji sampai batas waktu tertentu." Akhirnya, ia lakukan apa yang diingini darinya demi sebuah kerelaan.
Singkatnya, berlalulah waktu yang ditetapkan. Ketika lelaki ini akan pamit pergi untuk kembali mengembara, menghadaplah ia pada si empunya kebun. Berharap ridhonya. "Saya belum ridho," lagi-lagi jawabnya, "kecuali kalau kau mau menikah dengan putriku, yang bisu, tuli, buta, dan pincang. Saya tidak bisa menikahkannya kecuali dengan cara seperti ini karena tidak ada orang yang pantas untuknya."
"Ya Allah, ujian apa lagi ini." Begitu gumamnya. Tapi, tanpa pikir panjang akhirnya, ia lakukan apa yang diingini darinya demi sebuah kerelaan. Maka dilangsungkanlah akad nikah berikut walimahnya. Selepas itu, masuklah lelaki ini ke kamar istrinya. Dan terkejutlah ia karena yang didepannya ternyata adalah seorang cantik jelita seutuhnya. Bukan seperti yang dikata sebelumnya. Bergegas ia lari, keluar meninggalkannya. Takut.
"Ayahanda, kayaknya saya salah kamar. Bukankah putrimu bisu, tuli, buta dan pincang?" Tanyanya. Dan kita telah tahu kelanjutannya. Bisu karena lisannya tidak pernah sekalipun berucap keburukan. Buta karena pandangannya tidak pernah menatap maksiat. Tuli karena hanya Al-Qur'an lah yang didengarnya. Dan pincang karena kakinya tidak pernah dipijakkan untuk kemaksiatan.
Dari pernikahan yang penuh keberkahan ini. Idris bin Abbas dan Fatimah binti Abdullah Al-azdiyyah, lahirlah seorang putra yang kelak kita kenal namanya sebagai Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i rahimahullah, atau lebih dikenal Imam Syafi'i.
Kita belajar dari mereka, bahwa kebaikan yang satu akan menarik kebaikan berikutnya hingga yang muncul adalah sakinah. Ketenangan. Ketentraman. Kenyamanan. Begitulah memang sakinah yang selayaknya terus kita upayakan. Sakinah yang kita damba bersama. Yang tidak bisa diperoleh kecuali dengan ber-iltizam, meneguhi kebenaran dan ahlinya. Baarokallahu fiikum 😁😁😁
Tidak ada komentar:
Posting Komentar