Senin, 29 Februari 2016

Mengaji, Bukan Bincang Biasa!



(Humamuddin – Mahasiswa Kedokteran 2013 FK UNS)

“Nabi mereka berujar, "Sesungguhnya Allah telah memilih pemimpinmu dan menganugerahinya ketajaman pikiran dan kekuatan fisik" – Q.S. Al-Baqoroh: 247

Untuk mengawali tulisan ini, dengan penuh khidmat, saya bawakan firman Allah yang mulia diatas. Ayat ini berkaitan dengan keadaan bani Israil yang saat itu benar-benar terpuruk, mereka terhinakan, lemah, dan tak berdaya. Lalu, mereka meminta Nabi mereka agar mengangkat seorang pemimpin dari kalangan mereka untuk mengubah keadaan yang mereka alami. Pemimpin yang mampu mengajak dan membangkitkan semangat mereka, yang mampu menyemangati mereka agar bangkit dari keterpurukan. Maka, Nabi mereka pun menunjuk seorang Thalut, pemuda papa lagi tak dikenal. Tentu saja mereka protes, bagaimana mungkin seorang pemuda macam Thalut menjadi pemimpin mereka? Apa tidak ada yang lain? Lalu, apa yang membuatnya spesial? bahkan hingga Allah sendiri lah yang memilih Thalut untuk memimpin mereka kala itu? Allah terangkan alasannya melalui lisan Nabi-Nya bahwa tiada lain tak bukan adalah karena Thalut dikaruniai intelektualitas yang bagus, bukan hanya kecerdasan horizontal saja, tapi juga keshalihan pribadi yang menjadi tolak ukur kecerdasan vertikalnya dengan Allah, dan juga Allah karuniakan dia keperkasaan fisik. Dua hal inilah yang kemudian membuatnya menjadi istimewa.
Dan saat ini, kita tentu tahu bahwa bani israil, orang-orang yahudi yang jumlahnya hanya puluhan juta, ternyata mampu memimpin hampir di segala sektor kehidupan. Jumlah mereka memang sedikit, tapi mereka menjadi pionir di bidangnya masing-masing. Seakan-akan mereka ingin membuktikan pada dunia bahwa mereka mampu bangkit dari keterpurukan yang dulu pernah mereka alami. Lihatlah nama-nama seperti Albert Einstein yang terkenal dengan e=mc2 nya, Mark Zuckeberg dengan Facebooknya, Sergey Brin dan Larry Page dengan mesin pencari Google yang dibuatnya, dan masih banyak lagi.
Lalu apa korelasinya dengan bahasan ini? Saat ini keadaan bangsa Indonesia seolah persis seperti yang pernah dialami oleh bani Israel kala itu bukan? Bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah Muslim, ternyata masih tertinggal dalam banyak hal dengan negara-negara adidaya laiknya Jepang, Australia, atau bahkan Singapura, bukankah begitu? Tentu kita perlu menyadari bahwa ada sesuatu yang salah dan perlu dibenahi bukan? Maka, sebagai seorang muslim, kita perlu menilik lagi pada pedoman yang telah Allah gariskan. Ternyata Allah telah memberikan solusi untuk mengatasi keadaan ini. Solusi yang sangat sederhana dan jelas konsepnya seperti yang terkandung dalam Surat Al-Baqoroh ayat 247 diatas, yaitu ketajaman pikiran dan kekuatan fisik.
Ketika bangsa ini hendak menjadi bangsa yang memimpin peradaban dunia, maka yang pertama harus diperhatikan adalah peningkatan pendidikan, dengan cara memberikan pengajaran yang berkualitas kepada masyarakat, terutama pendidikan agama. Mereka perlu dipahamkan akan ajaran agamanya sejak usia dini sehingga generasi muda tidak merasa kebingungan, bingung mencari jati dirinya. Lalu yang kedua, yaitu menguatkan militer, cara yang paling sederhana, dengan mengajarkan pelatihan fisik sejak dini, membiasakan berolahraga, dan menjaga kesehatan jasmani sehingga mampu beraktivitas dan berkarya dengan lebih produktif.
Dua hal inilah profil minimal yang harus diupayakan oleh setiap muslim, cerdas akalnya dan tangguh fisiknya. Dalam lini apapun, insting untuk berpikir kritis ini perlu dibiasakan, juga insting untuk bersiap siaga ala militer, sigap tegap, dan berwibawa.

Mengaji, Memperbaiki Diri
Satu hal yang ingin saya bincangkan terkait dengan upaya perbaikan umat Islam di Indonesia, yaitu melalui pendidikan keagamaan, tidak perlu muluk-muluk, dimulai dengan hal yang sangat mendasar sekali. Misalnya, sudahkah orang-orang sekitaran kita bisa membaca Al-Quran dengan baik? Sudahkah mereka mampu mengaji? Sangat menyedihkan rasanya ketika mengetahui masyarakat di sekitar kita yang mengaku muslim, tapi ternyata tidak pernah membaca Al-Qur’an. Dan setelah ditelisik lebih jauh, ternyata yang menyebabkan mereka tidak membaca Al-Qur’an bukan karena mereka tidak sudi, melainkan bersebab mereka belum bisa melafadzkan aya-ayat Al-Qur’an. Subhanallah! Tentu ini menjadi ironi tersendiri, bagaimana mungkin mereka mampu memahami ajaran agamanya dengan baik, jika untuk melafadzkan Al-Qur’an saja, surat cinta dari Allah, mereka belum bisa. Tampaknya ini menjadi tugas kita bersama untuk mengentaskan buta huruf Al-Qur’an.
Saya teringat dengan pesan guru ketika akan lulus dari pesantren, “Ustadz tidak begitu bangga,” Imbuh beliau, Jika kamu jadi orang kaya kelak, tapi ustadz bangga sekali kalau kamu bisa mengajarkan Al-Qur’an, walaupun hanya menjadi guru ngaji di pelosok-pelosok desa,” Maka, saya sampaikan kepada mereka-mereka yang terus mengajarkan Al-Qur’an, para pengajar Taman Pendidikan Al-Qur’an, pengajar ngaji di surau-suaru desa, jangan sampai menganggap aktivitas mengajarkan Al-Qur’an sebagai kerjaan sampingan. Sadarlah, ini suatu pekerjaan besar. Dan bergembiralah! karena pada dasarnya saat kita mengajarkan Al-Qur’an, kita sedang mengemban tugas yang dulu pernah diemban oleh para Rasul yang mulia sebagaimana Allah abadikan dalam surat Al-Jumu’ah ayat 2, “Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”
Sekali lagi, pada dasarnya saat kita mengajarkan Al-Qur’an, kita sedang membangun pondasi sebuah peradaban besar. Kita sedang mengupayakan kebangkitan dan kejayaan islam yang kita impikan bersama. Mungkin kita tidak tahu kapan waktunya tiba, tapi setidaknya kita tahu bahwa kita pernah memberikan kontribusi untuk membuatnya menjadi nyata!

Bisa Mengaji, Bisa Jadi Apapun
Tertulis rapi dalam laluan sejarah, bahwa para tokoh islam yang bertebarann karyanya , apapun karya-karya mereka, mereka adalah pribadi dan sosok yang rata-rata sudah ‘beres’ dengan Al-Qur’an sejak usia dini, mereka adalah orang-orang yang bisa mengaji sejak belia. Lihatlah nama-nama yang tidak asing lagi, seperti Shalahuddin Al-Ayyubi yang mampu merebut Al-Quds, Muhammad Al-Fatih yang menaklukkan konstantinopel, Al-khawarizmi yang merumuskan aljabar, Ibnu Sina yang mengarang Al-Qonun fi Ath-Thibbnya, dan lain sebagainya. Kita juga sama-sama mengetahui bahwa dunia ini pernah berada dalam genggaman muslimin, dan itu terjadi ketika umat Islam berpegang teguh dengan Al-Qur’an. Mereka tidak hanya ‘mengaji’ dalam konteks melafalkan ayat Al-Qur’an sahaja, tapi juga ‘mengaji’ dalam arti yang lebih luas, meneliti makna-makna tersembunyi dalam Al-Qur’an, menelisik inspirasi yang terkandung di dalamnya, lalu menguji hipotesis yang mereka dapatkan sementara, hingga pada tahap selanjutnya mereka menerapkan apa yang mereka pelajari dari Al-Qur’an dalam bingkai kehidupan harian.
Pada akhirnya, saya katakan jangan terlalu mengkhawatirkan adik-adik kita, kakak-kakak kita, teman-teman kita, atau bahkan bangsa Indonesia ini akan jadi apa kelak. Kita perlu khawatir jika kelak anak-cucu kita tidak paham Al-Qur’an. kita perlu cemas jika anak cucu kita tidak mentadabburi dan tidak mengamalkan Al-Qur’an. Kita hanya perlu risau jika mereka tidak bisa mengaji. Selama mereka bisa mengaji, tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena Allah telah menjamin masa depan mereka yang mampu mengejawantahkan Al-Qur’an dalam keseharian, mengajarkan Al-Qur’an, dan pada waktunya nanti memperjuangkan Al-Qur’an, sebagaimana termaktub dalam Q.S An-Nur ayat 25, “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa...”
Sekali lagi, kita tidak perlu meragukan masyarakat kita selama mereka mampu mengaji Al-Qur’an dengan benar, mengaji dalam arti yang lebih luas tentunya, tidak sekadar melafadzkan ayat-ayat, melainkan juga yang terpenting menjadikan Al-Qur’an sebagai bagian dari perilakunya. Apapun profesi yang mereka jalani, apapun keahlian yang mereka miliki, apapun posisi yang mereka tempati, apapun jabatan yang mereka duduki, apapun itu, Insya Allah, mereka akan menjadi pribadi-pribadi yang baik, elok, dan menawan.


Minggu, 14 Februari 2016

Untukmu Penghafal Al-Qur’an (Part 1)



Untukmu penghafal Al-Qur’an...
kutulis pesan ini terutama sebagai pengingat diriku yang sering alpa, juga untukmu yang menginginkan dirindu surga. Walaupun kita terpisah ruang waktu dan terbedakan oleh usia dan suku, Mudah-mudahan kelak Allah jadikan Al-Qur’an alasan pembela kita, dan Allah pertemukan kita di surga-Nya. 

Untukmu wahai sang penghafal Al-Quran,
Yang sedang dan terus berusaha menghafalkan ayat-ayat-Nya yang mulia,
Pada dasarnya saat kau mulai pancangkan ‘azm untuk menghafal, saat itulah kau memutuskan untuk menjadi barisan pengandung Al-Qur’an.
Maka, berapapun juz-juz Al-Qur’an yang kau hafal, kau tetaplah seorang penghafal Al-Qur’an.
karena bagiamanapun kau akan terus berusaha menyelesaikan hafalanmu bukan?
Lalu, apa yang menghalangimu untuk tidak siap jika mereka tahu kaulah Sang Pengandung Al-Qur’an itu?
Bukankah memang itu kau?
Bukankah seharusnya kau bangga dengan yang ada padamu?

Untukmu penghafal kalam ilahi,
Yang terus melisankan tilawah merdumu dengan segenap kesungguhan hati,
Yang terus berusaha menyempurnakan laku-laku agar sesuai dengan ayat yang dibaca,
Pada dasarnya saat kau ber-azm untuk menghafalkan kitabullah, saat itulah kau memutuskan untuk menerima amanah sebagai penjaga Al-Qur’an.
Lalu, mengapa kau masih malu-malu menyembul keluar menampakkan identitasmu sebagai pengemban Al-Qur’an? Bukankah kau adalah keluarga dan staf khusus Allah di bumi?
Bukanlah sekarang waktumu untuk menunduk-nunduk bersembunyi. 
Sekaranglah saatnya kau keluar dari peraduanmu, lihatlah! umat begitu membutuhkan kehadiranmu.

Untukmu duhai pelantun Al-Qur'an di saat ramai dan senyap..
Yang terus berusaha menjaga dari yang tidak semestinya dilayangkan pandang,
Bukankah Allah telah mengangkat derajatmu dengan Al-Qur’an?
Lalu, Apa yang menghalangimu untuk ragu melangkah, menapaki tapak-tapak kehidupan ini dengan sigap tegap?
Bukanlah saatnya untuk terus diam dan menaruh malu di hadapanmu, itu bukan jiwamu!
Sekaranglah saatmu menaruh malu di bawah kaki, kaulah yang mereka tunggu.
Maka mari bersama memunculkan diri, membangun lekatan citra diri kita di hadapan Allah, agar Dia memberikan lekatan citra diri kita di hadapan manusia.

Untukmu wahai yang selalu menetapi tartil dalam bacaan Al-Qur'anmu..
Yang seluruh penjuru langit dan bumi bahkan iri terhadap sesuatu pada dirimu...
Yang terus berusaha menjaga tanganmu agar tidak menyentuh yang tidak selayaknya diletakkan sentuhan.
Apakah yang masih menggelayut di pikiranmu hingga kau tidak percaya diri?
Bukanlah sekarang saat yang tepat untuk menyendiri, bergumul dengan keshalihan diri. 
Bukankah kau tidak rela jika kau mutiara, sementara sekelilingmu tetap gelap gulita?

Untukmu wahai penghafal Al-Qur’an..
Yang terus berusaha agar Al-Qur’an tidak hanya di lisanmu, tapi juga merasuk dalam sanubarimu, dan mengakar dalam jiwamu
Ingatlah anugerah yang diberikan Allah padamu berupa hafalan Al-Qur’an..
Ingatlah, bukan sekarang saatnya meneguk-neguk pujian itu.
Sekaranglah waktumu untuk berkuah peluh dengan aksi terbaikmu, lihatlah! mereka butuh pengajaranmu. Sesungguhnya balasanmu sudah disiapkan di sisi Rabb Yang Maha Tinggi.

Untukmu penghafal kalam ilahi,
Yang selalu berusaha menjaga hatimu dari tempelan noda-noda yang tak perlu,
Yang bahkan Allah sendiri lah yang telah mengkhususkanmu..
Bukankah kau tahu, siapa yang beramal karena selain Allah maka ia telah berbuat syirik?
Bukankah kau tahu, siapa yang tidak beramal karena manusia maka ia telah berbuat riya’?
Maka, apakah yang membuatmu masih terlihat bimbang jika manusia mengetahuimu..
Ini bukanlah soal riya’ dan ajang berbangga diri kawan..
Ini soal menjaga keikhlasan dalam beramal.

Untukmu, wahai penghafal Al-Qur’an,
Yang terus berusaha menjaga agar langkah kakimu tidak berbelok kepada yang bukan semestinya dituju
Yang selalu memohonkan ampunan Rabb-mu untuk seluruh muslimin..
Bukankah kau tahu bahwa memang syaithan itu sang penggoda?
Bukankah ia yang berbisik agar kau tak jadi beramal dengan dalih supaya tidak ujub,  riya' maupun sum’ah?
Maka, buanglah jauh-jauh bersitan pikiran itu, mintalah perlindungan kepada-Nya, dan munculkanlah dirimu ke permukaan, sambil terus membawa panji Al-Qur’an

Untukmu, wahai penghafal kalam ilahi,
Yang terus memupuk lekatan citra diri dengan akhlak Rasulullah,
Bukankah beliau sudah dikenal Al-Amin sejak sebelum di utus menjadi Rasul?
Seandainya beliau berpikir khawatir berbuat riya’ kala itu, tentu beliau tidak akan dijuluki Al-Amin bukan?
Itulah yang disebut ‘branding’ diri, jauh dari sekadar pencitraan semata..
Itulah yang disebut berdakwah dengan penampilan, dengan kepribadian
Ingatlah, melakukan branding diri ini bukanlah yang kita tuju,
Ianya hanyalah sarana agar kebaikan yang kita seru menggaung lebih besar
Ianya hanyalah wasilah agar keshalihan pribadi yang kita dakwahkan lebih mudah diterima manusia.
Maka, mari bersama kita membangun branding itu, sesuai dengan bidang yang kau tekuni, profesi yang kau jalani, posisi yang kau tempati, dan keahlian yang kau miliki.

Untukmu duhai pembawa panji-panji Al-Qur'an
Bukankah kau sudah sadar sekarang, bahwa mewujudkan branding diri tidak bisa serta merta begitu saja?
Bukankah kau sudah sadar sekarang, bahwa kau tidak bisa terus menerus menyembul malu-malu seperti mentari pagi hari?
Bukankah kau sudah sadar sekarang, bahwa kau tidak bisa terus terlelap menidurkan diri, menjauhi khalayak ramai?
Ya, inilah saatnya bagimu menunjukkan aksi nyatamu..
Kaulah yang mereka damba, kaulah yang mereka tunggu..

"Ya Allah, jadikanlah Al-Qur'an hujjah alasan pembela bagi kami, bukan hujjah alasan pemberat atas kami"

Jumat, 12 Februari 2016

Singkirkan Sejenak Smartphone-mu!


Ini kisah nyata. Benar terjadi...
Berlatar sebuah keluarga, terdiri atas Ayah, Ibu, Adik, dan Kakak. Persis seperti  gambaran keluarga berencana yang sering didengung-dengungkan. Keluarga ini mungkin terbilang cukup ideal, dikaruniai kelimpahan harta, anak-anak yang pandai, ayah yang pekerja keras, dan sosok ibu yang penyanyang.
Namun, semenjak barang mewah dalam genggaman itu hadir, semua keceriaan itu perlahan memudar, dan lambat laun terkikis, Bayangkan Ayah dengan gadgetnya, Ibu dengan smartphonenya, Kakak usia SMP dengan hapenya, dan Adik yang masih SD pun tak luput dibekali barang canggih ini. Smartphone,
Telepon cerdas, tujuan awal dibuatnya adalah untuk memudahkan orang. Pada kenyataannya saat ini, lebih sering menjadi, smartphone and stupid people, atau smartphone and lazy people, karena masing-masing kemudian teralihkan perhatiannya pada benda persegi itu. Menjadi malas bergerak, malas beraktivitas, akibatnya menjadi malas berpikir, dan seterusnya.
Begitu pula yang terjadi dengan keluarga ini. Tilawah Al-Qur’an yang dulunya rutin terdengar ba’da maghrib, kini mulai tergantikan posisinya dengan chatting di sosmed, porsi belajar adik kakak juga menjadi banyak tersita oleh mainan, games. Obrolan ayah sepulang kerja yang dulunya riuh sekarang mulai jarang. Candaan ibu yang mampu menghangatkan suasana, seakan terasa kering. Masing-masing telah terhipnotis dengan benda itu.
Yang lebih mengherankan, komunikasi verbal antar anggota keluarga mulai tergantikan fungsinya dengan tulisan jempol di gadget. Sering ibu memanggil kakak yang kamarnya berada di lantai dua lewat chatting, katanya malas bergerak. Kakak juga lebih sering sendirian menghabiskan waktunya dengan games, sesekali menge-chat si adik, minta diambilkan buku, atau cemilan. Adik juga tak mau kalah, biar kelihatan gaya, ikut-ikutan chattingan, nge-chat temen-temen sekolahnya yang punya hape. Ayah biasanya suka rebahan di sofa ruang tengah lepas shalat isya’, setelah seharian bekerja, dengan TV menyala, tapi tidak ditonton, sibuk dengan smartphonenya, katanya masih ada tugas kantor. Walhasil, walupun keluarga ini tampak berada dalam satu rumah, hakikatnya mereka tidak di rumah. Seakan mereka sudah mati sebelum mati karena jarang sekali berkomunikasi verbal, fokus mereka melayang jauh di luar sana.
Suatu malam, seperti biasa, Ayah sedang duduk di sofa ruang tengah, berbincang ringan lewat chat dengan ibu yang tiduran di kamar. Lama-kelamaan ada keanehan. “Kok, tulisan ayah di layar HP gak karuan sih,” pikir Ibu, “Ah.. paling hanya ketiduran, kan biasanya sering begitu.”
Alih-alih melihat suaminya di ruang tengah, si Ibu malah mengechat Kakak di lantai dua, “Kak, tolong turun ke bawah dong, lihatin ayah kalau sempat, udah tidur atau ngapain, kok TV nya masih nyala, tapi gak ada suara ayah..”
“Biarin aja bu, Ayah kan sering gitu, biasanya ketiduran di sofa tengah”, balas Kakak.
“Ya udah, kalau kamu gak bisa, minta tolong adikmu ya untuk lihat ayah lagi ngapain,” sambung Ibu,
Si Ibu melanjutkan kesibukan dengan smartphonenya, sementara Kakak segera mengechat Adik, menyampaikan pesan Ibu, tapi karena sudah larut malam dan ngantuk, Adik membalas, “Paling ketiduran kak, gakpapa, biasanya kan sering begitu.”
Dan jadilah tidak ada yang melihat keadaan Ayah di ruang tengah.
Tengah malam, saat Ibu terbangun mau shalat tahajjud, dilihatnya TV kok masih menyala, sementara suaminya tampak diam saja di sofa. Dipegangnya tangan suaminya dan diraba. Dingin. Seperti tidak ada nafasnya. Nadinya dicek, kok agak aneh.
Dengan tergesa-gesa plus panik, Ibu segara menghubungi rumah sakit terdekat, Lalu segera dibawa naik ambulan, masuk IGD. Dan ternyata setelah diperiksa, dokter memastikan suaminya telah tiada. Dan kemungkinan terjadi serangan jantung 4 atau 5 jam yang lalu. Innaa lillah wa inna ilaihi raaji’un.
Apa yang terpikirkan di benak kita? Banyak, tepat... karena tersibukkan dengan smartphone, sampai Ibu, Kakak, maupun Adik tidak sempat melihat keadaan Ayah malam itu, Karena tersibukkan dengan hape hingga lupa memperhatikan keluarga, tidak sempat menalqinkan bacaan ‘Laa ilaaha illallah’ sebelum nyawa sang Ayah dicabut Malaikat Maut. Lalu bagaimana akhir hayatnya? Apakah khusnul khotimah atau malah sebaliknya? Entahlah kita tidak tahu. Wallahu a’lam, Wal iyadzu billah..
Maka.. Mari kita ambil pelajaran,
Saat ayah berbicara, tinggalkan hapemu sejenak, arahkan pandanganmu fokus, dan dengarkan dengan penuh perhatian.
Saat adik bercerita, matikan hapemu, palingkan badanmu menghadapnya dan dengarkan sampai selesai, kalau perlu beri apresiasi.
Saat kakak meminta pendapat, tinggalkan sejenak hapemu, datangi dan tanyakan persoalannya, dan beri masukan.
Saat ibu memanggil, tutup chat medsosmu, datangi dan lakukan yang diperintahkan segera, jangan ditunda. Semoga itu menjadi birrul walidainmu
Saat bersama keluarga, tutuplah hapemu, tunda keinginan untuk membalas sms atau lainnya, bercandalah dengan mereka, berguraulah, karena kata Rasulullah, candaan dan gurauanmu pada keluargamu adalah ibadah, berpahala.
Setelah shalat maghrib dan shubuh, biarkanlah hapemu tergeletak, sebagai gantinya, ambillah mushaf Al-Qur’an dan baca dengan penuh penghayatan, semoga tilawahmu menjadi jalan keberkahan bagi keluargamu.
Jangan sampai smartphone kita melalaikan kita dari dzikrullah, melalaikan kita dari keluarga, melupakan tugas-tugas dan kewajiban kita yang paling utama, karena bisa jadi, bersebab smartphone lah, kita mendapatkan akhir kehidupan yang buruk, su’ul khotimah, wal iyadzu billah. Kita memohon perlindungan kepada Allah dari keburukan tersebut.
Akhirnya, mari kita ingat kembali seruan Allah dalam Al-Qur’an,

Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” [QS. Al-Munafiqun: 9]  



Selasa, 09 Februari 2016

Ujaran Sederhana Penuh Cinta


Adalah Muslim bin Khalid Az-Zanji, seorang ulama ahli fiqh Makkah, yang sanad keilmuannya bersambung hingga Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, suatu hari melihat sesosok bocah dengan perawakan menarik, penuh semangat, sorot matanya tajam. Bocah ini dilihatnya sedang mengucap-ucap hafalan bait-bait syair Arab dengan sangat indah, fasih, merdu. Ditanyailah pemuda itu, “Nak, bisakah kau ulangi lagi untukku yang kau lafalkan tadi?”
Bocah tadi kembali mengulangi lafalnya dengan gaya bahasa yang tinggi, persis seperti sebelumnya,
“Siapa namamu wahai pemuda yang mulia?”,
“Aku Muhammad bin Idris,” jawabnya.

Dan setelah berbincang lebih lanjut, tahulah Muslim bin Khalid Az-Zanji bahwa bocah ini berdarah Quraisy, sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang juga berdarah Quraisy.
“Lalu, apa yang kau lakukan di kota ini, wahai anakku?” tanyanya penuh kelembutan
“Aku sedang belajar bahasa, nahwu dan sharafnya serta menghafalkan syair-syair Arab.”
“Oh begitu, ketahuilah anak muda, sungguh alangkah indahnya jika kefasihan lisanmu dan merdunya suaramu itu digunakan untuk menjaga Sunnah Rasulullah, menyampaikan hukum-hukum syari’at kepada manusia, dan mengajari mereka fikih sehingga mampu memahami agama.”
            Rupanya kekata sederhana yang dilontarkan oleh Muslim bin Khalid menjadi bara api penyemangat bagi Syafi’i muda untuk mengembara belajar. Menghafalkan Al-Qur’an di usianya yang masih 7 tahun, menyetorkan hafalan kitab Al-Muwaththa’ kepada Imam Malik di usia 10 tahun, serta mengkaji karya Ibnul Mubarak dan semua hadits Imam Waki’ dengan hafalan dan penguasaan yang sempurna. Hingga kemudian, di usianya yang masih 15 tahun, Muhammad bin Idris kembali ke Makkah. Lalu dengan penuh ta’zhim, gurunya, Muslim bin Khalid Az-Zanji menggamit lengannya seraya berkata, “Berfatwalah, sungguh telah tiba saatnya bagimu untuk berfatwa.”
            Dan lalu, inilah yang pernah diungkapkan oleh Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i suatu waktu, “Sungguh, seandainya tak ada Muslim bin Khalid Az-Zanji, tak kan ada Asy-Syafi’i, mungkin hanya seorang penyair gelandangan yang kebingungan kesana-kemari.”
            Masya Allah! Ya, mungkin kita merasa yang pernah diujarkan seorang Muslim bin Khalid Az-Zanji kepada anak ingusan macam Asy-Syafi’i muda sebagai sesuatu yang sangat sederhana, biasa saja. Tapi ternyata, kekata itu menyengat kuat Muhammad bin Idris rahimahullah hingga akhirnya dengan izin Allah, menjadi seorang faqih.
Maka wahai Ikhwah, berbicaralah yang santun kepada saudaramu, sejawatmu, bahkan kepada yang lebih muda darimu, lebih-lebih kepada ibu bapakmu, karena bisa jadi melalui lisanmu yang mulia lah seorang mendapatkan hidayah, tersengat untuk memperbaiki kualitas diri semacam Asy-Syafii. Sekilas memang tampak sederhana, tapi di sisi Allah bisa jadi ujaran kita menjadi pemberat timbangan kebaikan, sekaligus penggugur kesalahan
Maka wahai para orang tua dan pendidik yang mulia. Berujarlah yang baik kepada murid-muridmu. Bisa jadi kau adalah inspirasi keteladanan bagi mereka. Mata air bagi dahaga mereka. Takutlah pada Allah jika sampai meninggalkan generasi penerus yang lemah akibat ujaran buruk yang kita lontarkan. “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka generasi yang lemah, yang mereka khawatir terhadap mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar” [QS. An-Nisa’: 9].
Tepatlah yang disabdakan Nabi kita yang mulia Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Janganlah meremehkan hal ma’ruf sekecil apapun,” kebajikan itu waluapun pada mulanya kecil dan seakan tak berarti, tapi ia terus tumbuh, membesar, memberikan semangat, harum, dan menyenangkan. Sebaliknya keburukan walaupun mulanya menggaung besar, tapi lambat laun akan keropos, ambruk, melemahkan, dan berbau busuk. Sekali lagi, jangan remehkan ujaran baik kita walupun mungkin sederhana!
Menutup tulisan ini, mari kita simak ayat Allah berikut, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar” [QS. Al-Ahzab: 70-71].

Ya Allah, kami berlindung kepadaMu dari keburukan pendengaran kami, keburukan penglihatan kami, keburukan lisan kami, dan keburukan hati kami..

*Dikutip dengan banyak perubahan dari buku "Dalam Dekapan Ukhuwah" karya Salim A.Fillah