Jumat, 07 Oktober 2016

[Lirihan Hati Sang Pejuang]


"Yang penting bukan apakah engkau mencinta," Imam Ibnu Katsir mengutip sebuah syair, "yang penting adalah apakah engkau dicinta." Maka mengaku mencintai-Nya dengan kekata, kalah penting dibanding mewujudkan bukti cinta itu, yang akan membuat kita dicintai oleh-Nya.

Maka dengarlah bagimana kegalauan hati seorang yang perbuatannya lebih unggul daripada ucapan lisannya, pejuang yang dijuluki pedang Allah, menjelang wafatnya berikut, "Sejak aku berislam," ujar Khalid bin Walid dengan linangan air mata, "selalu kuhabiskan hari-hariku dalam peperangan. Yang selalu kurindu adalah kesyahidan, tapi kini aku terbujur lemah diatas tempat tidur menanti ajal."

Isaknya semakin deras. "Mengapa aku tak mati di medan perang?" tanyanya dengan cucuran air mata dan suara yang semakin lirih.

Hatta, sahabatnya, Qais bin Sa'id pun menjadi trenyuh mendengar isi hatinya. Maka dihibur-hiburlah Khalid agar luntur kegalauannya, "Sebab kau adalah pedang Allah," bisiknya di telinga sahabatnya, "maka Allah tak akan membiarkanmu patah di tangan musuh-musuh-Nya. Dia sendiri yang akan menyarungkan pedang-Nya, yang dulu telah dihunus-Nya."

Masya Allah. Mengetahui ceritera mereka membuat diri seakan tak ada apa-apanya. Alangkah dusta dan rapuhnya cinta kami kepada-Mu, Ya Allah. Memenuhi seruan adzan saja terkadang masih berat kami rasa. Apalagi untuk hal sebesar ini.

Walaupun begitu, ada baiknya kita renungi hadits riwayat Imam Muslim berikut, "Barangsiapa yang memohon kepada Allah supaya dimatikan syahid, dan permohonan itu jujur sebenar-benarnya, maka Allah akan sampaikan orang itu pada kedudukan orang-orang yang mati syahid, sekalipun ia mati di atas tempat tidurnya.,"

Ya Allah, golongkanlah kami semua dalam barisan orang-orang yang mati syahid di jalan-Mu. Aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar