sumber gambar: al-manar.co.id
Apa
itu Tazkiyatun Nafs?
Secara bahasa berasal dari dua kata,
yaitu tazkiyah yang berarti menyucikan, membersihkan, serta menumbuhkan,
karena itulah sedekah harta dinamakan zakat, dengan dikeluarkannya hak Allah
dari harta itu, ia menjadi suci, bersih. Dan an-nafs yaitu jiwa.
Tazkiyatun nafs secara istilah maknanya mencakup, 1)Tathohhur,
membersihkan jiwa dari segala penyakit hati dan cacat, seperti kekufuran, nifaaq,
kefasikan, bid’ah, syirik, riya’, dengki, sombong, bakhil, cinta
pangkat dan kedudukan, dhalim, cinta dunia, serta mengikuti hawa nafsu,
2)Tahaqquq, yaitu merealisasikan kesucian jiwa dengan sikap
tauhid dan cabang-cabangnya seperti, ikhlas, zuhud, tawakkal, taqwa dan wara’,
syukur, dan sabar. Serta 3)Takhalluq, yaitu berperilaku dengan nama-nama
Allah yang indah (Asmaaul Husna) dan meneladani sifat-sifat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam.
Tazkiyatun nafs (membersihkan/menyucikan jiwa) merupakan salah satu misi
diutusnya para Rasul di dunia disamping misi ta’lim (mengajarkan
hidayah-Nya) dan tadzkir (memberi peringatan akan ayat-ayat-Nya), sebagaimana
doa Nabi Ibrahim untuk anak cucunya,
“Wahai Rabb kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari
kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau,
dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah
(As-Sunnah) serta menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha
Kuasa lagi Maha Bijaksana.”
[Al-Baqoroh: 129].
Begitu pula jawaban dan karunia Allah atas umat ini dalam
Al-Qur’an,
“Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara
kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepadamu dan menyucikan kamu
dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan
kepadamu apa yang belum kamu ketahui.” [Al-Baqoroh:
151].
Mengapa
Perlu?
Sebagaimana disebutkan dalam nash yang shahih,
para ulama’ merupakan pewaris para nabi, sehingga misi utama mereka adalah ta’lim,
tadzkir, dan tazkiyah kepada umat. Namun, jarang sekali ketiga hal
ini berhimpun pada seseorang, ada orang yang piawai dalam tadzkir (menyampaikan
nasihat), tapi tidak banyak berilmu (banyak ta’limnya); ada orang yang
berilmu (bagus ta’limnya) tapi tidak piawai dalam menyampaikan nasihat (tadzkir);
ada orang yang berilmu dan piawai dalam menyampaikan nasihat tetapi tidak mampu
melakukan tazkiyah. Siapa yang memiliki ketiga hal ini, maka ia adalah
pewaris kenabian yang utuh karena ia telah memiliki ‘obat kehidupan’.
Saat ini, para murabbi (pendidik, pembina) dihadapkan
pada berbagai kondisi umat yang begitu mengkhawatirkan; berbagai kemaksiatan
merajalela, penyakit-penyakit hati tersebar luas, mu’amalah yang baik
terasa sangat lemah, bahkan jihad dan amar ma’ruf nahi mungkar dianggap sesuatu
yang asing. Maka siapapun (termasuk kita) yang ingin memperbaiki kehidupan
pribadi dan sosial, menginginkan terjadinya revolusi mental dan akhlak, dan mengharapkan
kembalinya kejayaan umat ini, harus berpikir untuk menghidupkan kembali
sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam, berhias dengan
akhlak beliau, serta membersihkan jiwa (tazkiyah) dari berbagai naluri syaithoniyyah.
Fitrah manusia bisa terkontaminasi dan ternodai oleh penyakit
dan masalah yang dapat muncul sepanjang zaman, disamping setiap zaman
memiliki penyakit dan masalahnya sendiri. Semenjak abad pertama setelah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, telah bermunculan aliran murji’ah,
syi’ah, mu’tazilah dan khawarij. Inti ajaran murji’ah adalah
meninggalkan amal. Inti syi’ah adalah berlebih-lebihan dalam masalah ahlul
bait Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Inti ajaran khawarij
adalah ketumpulan akal, terburu-buru mengkafirkan, tidak menghormati
orang-orang yang memiliki keutamaan, dan iman mereka tidak melewati
kerongkongan. Sementara inti ajaran mu’tazilah adalah terburu-buru melakukan
ta’wil yang tidak ilmiah. Aliran-aliran seperti ini dianggap sebagai masalah
sepanjang zaman yang bisa muncul terus menerus. Demikian juga penyakit yang
terus menerus muncul di sepanjang zaman sebagaimana ditegaskan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, “Menjalar diantara kalian penyakit-penyakit umat
sebelum kalian, yaitu dengki dan permusuhan…” (HR. Ahmad dan
Tirmidzi, hadits ini shahih).
Disamping itu, setiap zaman punya
penyakit dan masalahnya sendiri, diantara penyakit zaman kita sekarang adalah seperti
yang diisyaratkan oleh beberapa nash,
“Ilmu yang pertama kali diangkat dari bumi adalah kekhusyukan”
(HR.
Thabrani dengan sanad hasan).
“Tetapi kalian seperti buih banjir…dan sungguh Allah akan
menanamkan dalam hati kalian…cinta dunia dan takut mati” (HR. Abu Dawud dengan sanad
hasan)
Kita dapat merasakan dan melihat bahwa zaman kita saat ini
adalah zaman dimana kekhusyukan sangat sedikit, sementara sikap cinta dunia dan
takut mati mendominasi umat ini. Ibadah-ibadah fardhu hanya dilakukan sebatas
menggugurkan kewajiban saja, orang semakin disibukkan dengan berbagai urusan
dunia, berlomba-lomba menumpuk kekayaan dan melupakan kampung akhirat.
Oleh karena itu, tentunya jiwa manusia sangat membutuhkan tazkiyah
dari penyakit-penyakit tersebut. Maka, seorang ‘alim (guru atau syaikh) yang
robbani ialah orang yang (dengan izin Allah) mampu mengobati dan
menghilangkan penyakit-penyakit tersebut dari umat. Dan itulah tanda
keberhasilannya dalam tazkiyah.
Siapapun yang mengharapkan Allah dan hari akhir, sudah
seharusnya memperhatikan kebersihan jiwanya. Sungguh Allah telah menjadikan
kebahagiaan seorang hamba tergantung kepada tazkiyatun nafs, sebagaimana
disebutkan Allah dalam surat Asy-Syams setelah Allah bersumpah dengan
sebelas sumpah secara beruntun, ini menunjukkan suatu keistimewaan yang tidak
dimiliki hal lainnya.
“Sungguh beruntunglah orang yang menyucikan jiwanya” (QS. Asy-Syams: 9).
Perlu diingat, bahwa tujuan dari tazkiyatun nafs adalah
muhasabah, yaitu melakukan introspeksi, koreksi, dan perbaikan terhadap
niat, amalan, dan sikap kita. Bukan untuk kemudian menganggap suci diri dari
kesalahan yang mana dilarang secara tegas oleh Allah Azza wa Jalla,
“Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah (Allah) yang
paling mengetahui siapa yang bertakwa”. (QS. An-Najm: 32).
Sarana
Tazkiyatun Nafs
Sarana tazkiyah yang dimaksud
disini adalah berbagai amal yang secara langsung mempengaruhi jiwa sehingga terbebas
dari penyakit-penyakit, dan mampu merealisasikan iman dan akhlak islami jika
dilakukan secara sempurna. Walaupun secara umum semua amalan bisa masuk dalam
kategori ini, tetapi ada beberapa amalan yang lebih jelas pengaruhnya pada jiwa
dibandingkan dengan amalan lainnya.
Diantara amalan-amalan tersebut yang
paling utama adalah shalat, zakat, infaq, puasa, haji, tilawah Al-Qur’an, dzikir
dan tafakkur, mengingat kematian, muhasabah, muroqobah, amar
ma’ruf nahi munkar, jihad, serta bersikap tawadhu’ (rendah hati).
Tentunya itu semua didasari oleh sikap tauhid, membersihkan hati dari
berbagai karat kesyirikan dan akibatya seperti, ‘ujub, riya’,
dengki, dan lain sebagainya.
Shalat berikut rukuk dan
sujudnya akan membersihkan jiwa dari kesombongan kepada Allah, mengingatkan
jiwa agar selalu istiqomah di atas perintah-Nya, serta mencegah dari perbuatan
keji dan mungkar. Zakat dan infaq mampu membersihkan jiwa dari sifat
bakhil dan kikir, dan menyadarkan manusia bahwa pemilik harta sesungguhnya
adalah Allah Azza wa jalla. Sementara puasa merupakan pembiasaan
jiwa untuk mengendalikan syahwat perut dan kemaluan. Membaca Al-Qur’an
dapat mengingatkan jiwa terhadap berbagai kesempurnaan, seorang mukmin akan tumbuh
dan bertambah keimanannya jika dibacakan ayat-ayat-Nya, itulah sebabnya tilawah
Al-Qur’an merupakan sarana tazkiyah. Dzikir dan fikir merupakan
dua sejoli yang dapat memperdalam iman dan tauhid di dalam hati, serta
membukakan hati manusia untuk menerima ayat-ayat-Nya. Mengingat kematian
dapat menyadarkan seorang akan ketidakberdayaannya di hadapan Allah dan bahwa
semua makhluk akan kembali pada-Nya. Muroqobah dan Muhasabah terhadap
jiwa dapat menyegerakan taubat sehingga jiwa manusia terdorong untuk melakukan
perbaikan. Dan tidak ada yang lebih efektif untuk menanamkan kebaikan pada jiwa
serta menjauhkannya dari keburukan selain amar ma’ruf nahi munkar, maka
orang yang tidak memerintahkan kebaikan dan tidak mencegah kemungkaran berhak
mendapatkan laknat dari Allah sebagaimana Bani Israil yang enggan melakukan
amar ma’ruf nahi munkar. Jihad merupakan sarana tazkiyah yang
paling tinggi, tidak ada yang mampu melakukannya kecuali orang yang diberi
keutamaan oleh Allah. Orang yang berjihad
di jalan Allah terbebas dari sifat kikir dan takut karena ia
mengorbankan jiwa-Nya untuk Allah, dan mati syahid di jalan-Nya adalah
penghapus dosa. Disamping itu semua, sikap tawadhu’ akan menjauhkan
seseorang dari sombong dan ‘ujub (bangga diri), sekaligus memperkuat
rasa kasih sayang dan lemah lembut kepada sesama muslim.
Buah
dari Tazkiyatun Nafs
Seseorang yang senantiasa bermuhasabah
terhadap amal-amalnya, melakukan tazkiyah terhadap jiwanya dengan berbagai
sarana tazkiyah secara sempurna dan memadai, sekaligus mempelajari,
mengkaji, dan mengamalkan yang diketahuinya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah pasti
akan tampak buah tazkiyah pada diri dan perilakunya, lisannya terjaga
dari mengucap yang tidak semestinya, serta tercermin pada adab dan muamalahnya
yang baik kepada Allah dan sesama manusia. Wallahu A’lam Bish Showab.
Referensi:
-
Al-Mustakhlis fii Tazkiyatil Anfus, karya Syaikh Sa’id Hawwa
- Tazkiyatun
Nafs wa Tarbiyatuha kama Yuqorriruhu ‘Ulama’ as-Salaf, karya Dr. Ahmad
Farid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar