Adalah Muslim bin Khalid Az-Zanji, seorang ulama
ahli fiqh Makkah, yang sanad keilmuannya bersambung hingga Ibnu Abbas
radhiyallahu anhuma, suatu hari melihat sesosok bocah dengan perawakan menarik,
penuh semangat, sorot matanya tajam. Bocah ini dilihatnya sedang mengucap-ucap
hafalan bait-bait syair Arab dengan sangat indah, fasih, merdu. Ditanyailah pemuda
itu, “Nak, bisakah kau ulangi lagi untukku yang kau lafalkan tadi?”
Bocah
tadi kembali mengulangi lafalnya dengan gaya bahasa yang tinggi, persis seperti
sebelumnya,
“Siapa
namamu wahai pemuda yang mulia?”,
“Aku
Muhammad bin Idris,” jawabnya.
Dan
setelah berbincang lebih lanjut, tahulah Muslim bin Khalid Az-Zanji bahwa bocah
ini berdarah Quraisy, sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang
juga berdarah Quraisy.
“Lalu, apa yang kau lakukan di kota ini, wahai anakku?”
tanyanya penuh kelembutan
“Aku sedang belajar bahasa, nahwu dan sharafnya serta
menghafalkan syair-syair Arab.”
“Oh begitu, ketahuilah anak muda, sungguh alangkah
indahnya jika kefasihan lisanmu dan merdunya suaramu itu digunakan untuk
menjaga Sunnah Rasulullah, menyampaikan hukum-hukum syari’at kepada manusia,
dan mengajari mereka fikih sehingga mampu memahami agama.”
Rupanya kekata sederhana
yang dilontarkan oleh Muslim bin Khalid menjadi bara api penyemangat bagi Syafi’i
muda untuk mengembara belajar. Menghafalkan Al-Qur’an di usianya yang masih 7
tahun, menyetorkan hafalan kitab Al-Muwaththa’ kepada Imam Malik di usia 10
tahun, serta mengkaji karya Ibnul Mubarak dan semua hadits Imam Waki’ dengan
hafalan dan penguasaan yang sempurna. Hingga kemudian, di usianya yang masih 15
tahun, Muhammad bin Idris kembali ke Makkah. Lalu dengan penuh ta’zhim,
gurunya, Muslim bin Khalid Az-Zanji menggamit lengannya seraya berkata, “Berfatwalah,
sungguh telah tiba saatnya bagimu untuk berfatwa.”
Dan lalu, inilah yang pernah diungkapkan
oleh Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i suatu waktu, “Sungguh, seandainya tak ada
Muslim bin Khalid Az-Zanji, tak kan ada Asy-Syafi’i, mungkin hanya seorang
penyair gelandangan yang kebingungan kesana-kemari.”
Masya Allah! Ya, mungkin kita
merasa yang pernah diujarkan seorang Muslim bin Khalid Az-Zanji kepada anak
ingusan macam Asy-Syafi’i muda sebagai sesuatu yang sangat sederhana, biasa
saja. Tapi ternyata, kekata itu menyengat kuat Muhammad bin Idris rahimahullah
hingga akhirnya dengan izin Allah, menjadi seorang faqih.
Maka wahai Ikhwah, berbicaralah yang santun kepada
saudaramu, sejawatmu, bahkan kepada yang lebih muda darimu, lebih-lebih kepada
ibu bapakmu, karena bisa jadi melalui lisanmu yang mulia lah seorang
mendapatkan hidayah, tersengat untuk memperbaiki kualitas diri semacam
Asy-Syafii. Sekilas memang tampak sederhana, tapi di sisi Allah bisa jadi
ujaran kita menjadi pemberat timbangan kebaikan, sekaligus penggugur kesalahan
Maka wahai para orang tua dan pendidik yang mulia. Berujarlah
yang baik kepada murid-muridmu. Bisa jadi kau adalah inspirasi keteladanan bagi
mereka. Mata air bagi dahaga mereka. Takutlah pada Allah jika sampai
meninggalkan generasi penerus yang lemah akibat ujaran buruk yang kita
lontarkan. “Dan
hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan
dibelakang mereka generasi yang lemah, yang mereka khawatir terhadap mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada
Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar” [QS. An-Nisa’: 9].
Tepatlah yang disabdakan Nabi kita yang mulia
Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Janganlah meremehkan hal ma’ruf sekecil apapun,”
kebajikan itu waluapun pada mulanya kecil dan seakan tak berarti, tapi ia terus
tumbuh, membesar, memberikan semangat, harum, dan menyenangkan. Sebaliknya
keburukan walaupun mulanya menggaung besar, tapi lambat laun akan keropos,
ambruk, melemahkan, dan berbau busuk. Sekali lagi, jangan remehkan ujaran baik
kita walupun mungkin sederhana!
Menutup tulisan ini, mari kita simak ayat Allah berikut, “Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah
perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan
mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia
telah mendapat kemenangan yang besar” [QS. Al-Ahzab: 70-71].
Ya Allah, kami berlindung kepadaMu dari
keburukan pendengaran kami, keburukan penglihatan kami, keburukan lisan kami,
dan keburukan hati kami..
*Dikutip dengan banyak perubahan dari buku "Dalam Dekapan Ukhuwah" karya Salim A.Fillah
*Dikutip dengan banyak perubahan dari buku "Dalam Dekapan Ukhuwah" karya Salim A.Fillah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar