Ini
kisah nyata. Benar terjadi...
Berlatar sebuah keluarga, terdiri
atas Ayah, Ibu, Adik, dan Kakak. Persis seperti gambaran keluarga berencana yang sering
didengung-dengungkan. Keluarga ini mungkin terbilang cukup ideal, dikaruniai
kelimpahan harta, anak-anak yang pandai, ayah yang pekerja keras, dan sosok ibu
yang penyanyang.
Namun,
semenjak barang mewah dalam genggaman itu hadir, semua keceriaan itu perlahan
memudar, dan lambat laun terkikis, Bayangkan Ayah dengan gadgetnya, Ibu dengan smartphonenya,
Kakak usia SMP dengan hapenya, dan Adik yang masih SD pun tak luput dibekali barang
canggih ini. Smartphone,
Telepon cerdas, tujuan awal
dibuatnya adalah untuk memudahkan orang. Pada kenyataannya saat ini, lebih
sering menjadi, smartphone and stupid people, atau smartphone and lazy people, karena
masing-masing kemudian teralihkan perhatiannya pada benda persegi itu. Menjadi
malas bergerak, malas beraktivitas, akibatnya menjadi malas berpikir, dan
seterusnya.
Begitu pula yang terjadi dengan
keluarga ini. Tilawah Al-Qur’an yang dulunya rutin terdengar ba’da maghrib,
kini mulai tergantikan posisinya dengan chatting di sosmed, porsi belajar adik
kakak juga menjadi banyak tersita oleh mainan, games. Obrolan ayah sepulang
kerja yang dulunya riuh sekarang mulai jarang. Candaan ibu yang mampu
menghangatkan suasana, seakan terasa kering. Masing-masing telah terhipnotis
dengan benda itu.
Yang lebih mengherankan,
komunikasi verbal antar anggota keluarga mulai tergantikan fungsinya dengan
tulisan jempol di gadget. Sering ibu memanggil kakak yang kamarnya berada di
lantai dua lewat chatting, katanya malas bergerak. Kakak juga lebih sering sendirian
menghabiskan waktunya dengan games, sesekali menge-chat si adik, minta
diambilkan buku, atau cemilan. Adik juga tak mau kalah, biar kelihatan gaya, ikut-ikutan
chattingan, nge-chat temen-temen sekolahnya yang punya hape. Ayah biasanya suka
rebahan di sofa ruang tengah lepas shalat isya’, setelah seharian bekerja, dengan
TV menyala, tapi tidak ditonton, sibuk dengan smartphonenya, katanya masih ada
tugas kantor. Walhasil, walupun keluarga ini tampak berada dalam satu rumah,
hakikatnya mereka tidak di rumah. Seakan mereka sudah mati sebelum mati karena
jarang sekali berkomunikasi verbal, fokus mereka melayang jauh di luar sana.
Suatu
malam, seperti biasa, Ayah sedang duduk di sofa ruang tengah, berbincang ringan
lewat chat dengan ibu yang tiduran di kamar. Lama-kelamaan ada keanehan. “Kok,
tulisan ayah di layar HP gak karuan sih,” pikir Ibu, “Ah.. paling hanya
ketiduran, kan biasanya sering begitu.”
Alih-alih
melihat suaminya di ruang tengah, si Ibu malah mengechat Kakak di lantai dua, “Kak,
tolong turun ke bawah dong, lihatin ayah kalau sempat, udah tidur atau ngapain,
kok TV nya masih nyala, tapi gak ada suara ayah..”
“Biarin aja bu, Ayah kan sering
gitu, biasanya ketiduran di sofa tengah”, balas Kakak.
“Ya udah, kalau kamu gak bisa,
minta tolong adikmu ya untuk lihat ayah lagi ngapain,” sambung Ibu,
Si Ibu melanjutkan kesibukan
dengan smartphonenya, sementara Kakak segera mengechat Adik, menyampaikan pesan
Ibu, tapi karena sudah larut malam dan ngantuk, Adik membalas, “Paling
ketiduran kak, gakpapa, biasanya kan sering begitu.”
Dan jadilah tidak ada yang
melihat keadaan Ayah di ruang tengah.
Tengah malam, saat Ibu terbangun mau
shalat tahajjud, dilihatnya TV kok masih menyala, sementara suaminya tampak
diam saja di sofa. Dipegangnya tangan suaminya dan diraba. Dingin. Seperti
tidak ada nafasnya. Nadinya dicek, kok agak aneh.
Dengan tergesa-gesa plus panik,
Ibu segara menghubungi rumah sakit terdekat, Lalu segera dibawa naik ambulan,
masuk IGD. Dan ternyata setelah diperiksa, dokter memastikan suaminya telah
tiada. Dan kemungkinan terjadi serangan jantung 4 atau 5 jam yang lalu. Innaa
lillah wa inna ilaihi raaji’un.
Apa yang terpikirkan di benak
kita? Banyak, tepat... karena tersibukkan dengan smartphone, sampai Ibu, Kakak,
maupun Adik tidak sempat melihat keadaan Ayah malam itu, Karena tersibukkan
dengan hape hingga lupa memperhatikan keluarga, tidak sempat menalqinkan bacaan
‘Laa ilaaha illallah’ sebelum nyawa sang Ayah dicabut Malaikat Maut. Lalu
bagaimana akhir hayatnya? Apakah khusnul khotimah atau malah sebaliknya? Entahlah
kita tidak tahu. Wallahu a’lam, Wal iyadzu billah..
Maka.. Mari kita ambil pelajaran,
Saat ayah berbicara, tinggalkan
hapemu sejenak, arahkan pandanganmu fokus, dan dengarkan dengan penuh
perhatian.
Saat adik bercerita, matikan
hapemu, palingkan badanmu menghadapnya dan dengarkan sampai selesai, kalau
perlu beri apresiasi.
Saat kakak meminta pendapat,
tinggalkan sejenak hapemu, datangi dan tanyakan persoalannya, dan beri masukan.
Saat ibu memanggil, tutup chat
medsosmu, datangi dan lakukan yang diperintahkan segera, jangan ditunda. Semoga
itu menjadi birrul walidainmu
Saat bersama keluarga, tutuplah
hapemu, tunda keinginan untuk membalas sms atau lainnya, bercandalah dengan
mereka, berguraulah, karena kata Rasulullah, candaan dan gurauanmu pada
keluargamu adalah ibadah, berpahala.
Setelah shalat maghrib dan shubuh,
biarkanlah hapemu tergeletak, sebagai gantinya, ambillah mushaf Al-Qur’an dan
baca dengan penuh penghayatan, semoga tilawahmu menjadi jalan keberkahan bagi
keluargamu.
Jangan sampai smartphone kita
melalaikan kita dari dzikrullah, melalaikan kita dari keluarga, melupakan
tugas-tugas dan kewajiban kita yang paling utama, karena bisa jadi, bersebab
smartphone lah, kita mendapatkan akhir kehidupan yang buruk, su’ul khotimah,
wal iyadzu billah. Kita memohon perlindungan kepada Allah dari keburukan
tersebut.
Akhirnya,
mari kita ingat kembali seruan Allah dalam Al-Qur’an,
“Hai
orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari
mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah
orang-orang yang merugi.” [QS.
Al-Munafiqun: 9]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar