(Humamuddin – Mahasiswa Kedokteran 2013 FK UNS)
“Nabi mereka berujar, "Sesungguhnya Allah telah memilih pemimpinmu
dan menganugerahinya ketajaman pikiran dan kekuatan fisik" – Q.S.
Al-Baqoroh: 247
Untuk mengawali tulisan ini, dengan penuh khidmat, saya bawakan
firman Allah yang mulia diatas. Ayat ini berkaitan dengan keadaan bani Israil
yang saat itu benar-benar terpuruk, mereka terhinakan, lemah, dan tak berdaya.
Lalu, mereka meminta Nabi mereka agar mengangkat seorang pemimpin dari kalangan
mereka untuk mengubah keadaan yang mereka alami. Pemimpin yang mampu mengajak
dan membangkitkan semangat mereka, yang mampu menyemangati mereka agar bangkit
dari keterpurukan. Maka, Nabi mereka pun menunjuk seorang Thalut, pemuda papa
lagi tak dikenal. Tentu saja mereka protes, bagaimana mungkin seorang pemuda
macam Thalut menjadi pemimpin mereka? Apa tidak ada yang lain? Lalu, apa yang
membuatnya spesial? bahkan hingga Allah sendiri lah yang memilih Thalut untuk
memimpin mereka kala itu? Allah terangkan alasannya melalui lisan Nabi-Nya
bahwa tiada lain tak bukan adalah karena Thalut dikaruniai intelektualitas yang
bagus, bukan hanya kecerdasan horizontal saja, tapi juga keshalihan pribadi
yang menjadi tolak ukur kecerdasan vertikalnya dengan Allah, dan juga Allah karuniakan
dia keperkasaan fisik. Dua hal inilah yang kemudian membuatnya menjadi
istimewa.
Dan saat ini, kita tentu tahu bahwa bani israil, orang-orang
yahudi yang jumlahnya hanya puluhan juta, ternyata mampu memimpin hampir di
segala sektor kehidupan. Jumlah mereka memang sedikit, tapi mereka menjadi
pionir di bidangnya masing-masing. Seakan-akan mereka ingin membuktikan pada
dunia bahwa mereka mampu bangkit dari keterpurukan yang dulu pernah mereka
alami. Lihatlah nama-nama seperti Albert Einstein yang terkenal dengan e=mc2
nya, Mark Zuckeberg dengan Facebooknya, Sergey Brin dan Larry Page dengan mesin
pencari Google yang dibuatnya, dan masih banyak lagi.
Lalu apa korelasinya dengan bahasan ini? Saat ini keadaan
bangsa Indonesia seolah persis seperti yang pernah dialami oleh bani Israel
kala itu bukan? Bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah Muslim,
ternyata masih tertinggal dalam banyak hal dengan negara-negara adidaya laiknya
Jepang, Australia, atau bahkan Singapura, bukankah begitu? Tentu kita perlu
menyadari bahwa ada sesuatu yang salah dan perlu dibenahi bukan? Maka, sebagai
seorang muslim, kita perlu menilik lagi pada pedoman yang telah Allah gariskan.
Ternyata Allah telah memberikan solusi untuk mengatasi keadaan ini. Solusi yang
sangat sederhana dan jelas konsepnya seperti yang terkandung dalam Surat
Al-Baqoroh ayat 247 diatas, yaitu ketajaman pikiran dan kekuatan fisik.
Ketika bangsa ini hendak menjadi bangsa yang memimpin
peradaban dunia, maka yang pertama harus diperhatikan adalah peningkatan
pendidikan, dengan cara memberikan pengajaran yang berkualitas kepada
masyarakat, terutama pendidikan agama. Mereka perlu dipahamkan akan ajaran
agamanya sejak usia dini sehingga generasi muda tidak merasa kebingungan,
bingung mencari jati dirinya. Lalu yang kedua, yaitu menguatkan militer, cara
yang paling sederhana, dengan mengajarkan pelatihan fisik sejak dini,
membiasakan berolahraga, dan menjaga kesehatan jasmani sehingga mampu
beraktivitas dan berkarya dengan lebih produktif.
Dua hal inilah profil minimal yang harus diupayakan oleh
setiap muslim, cerdas akalnya dan tangguh fisiknya. Dalam lini apapun, insting
untuk berpikir kritis ini perlu dibiasakan, juga insting untuk bersiap siaga
ala militer, sigap tegap, dan berwibawa.
Mengaji, Memperbaiki Diri
Satu hal yang ingin saya bincangkan terkait dengan upaya
perbaikan umat Islam di Indonesia, yaitu melalui pendidikan keagamaan, tidak
perlu muluk-muluk, dimulai dengan hal yang sangat mendasar sekali. Misalnya,
sudahkah orang-orang sekitaran kita bisa membaca Al-Quran dengan baik? Sudahkah
mereka mampu mengaji? Sangat menyedihkan rasanya ketika mengetahui masyarakat
di sekitar kita yang mengaku muslim, tapi ternyata tidak pernah membaca
Al-Qur’an. Dan setelah ditelisik lebih jauh, ternyata yang menyebabkan mereka
tidak membaca Al-Qur’an bukan karena mereka tidak sudi, melainkan bersebab
mereka belum bisa melafadzkan aya-ayat Al-Qur’an. Subhanallah! Tentu ini
menjadi ironi tersendiri, bagaimana mungkin mereka mampu memahami ajaran
agamanya dengan baik, jika untuk melafadzkan Al-Qur’an saja, surat cinta dari
Allah, mereka belum bisa. Tampaknya ini menjadi tugas kita bersama untuk
mengentaskan buta huruf Al-Qur’an.
Saya teringat dengan pesan guru ketika akan lulus dari
pesantren, “Ustadz tidak begitu bangga,” Imbuh beliau, Jika kamu jadi orang
kaya kelak, tapi ustadz bangga sekali kalau kamu bisa mengajarkan Al-Qur’an,
walaupun hanya menjadi guru ngaji di pelosok-pelosok desa,” Maka, saya
sampaikan kepada mereka-mereka yang terus mengajarkan Al-Qur’an, para pengajar
Taman Pendidikan Al-Qur’an, pengajar ngaji di surau-suaru desa, jangan sampai
menganggap aktivitas mengajarkan Al-Qur’an sebagai kerjaan sampingan. Sadarlah,
ini suatu pekerjaan besar. Dan bergembiralah! karena pada dasarnya saat kita
mengajarkan Al-Qur’an, kita sedang mengemban tugas yang dulu pernah diemban
oleh para Rasul yang mulia sebagaimana Allah abadikan dalam surat Al-Jumu’ah
ayat 2, “Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di
antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka
dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka
sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”
Sekali lagi, pada dasarnya saat kita mengajarkan Al-Qur’an,
kita sedang membangun pondasi sebuah peradaban besar. Kita sedang mengupayakan
kebangkitan dan kejayaan islam yang kita impikan bersama. Mungkin kita tidak
tahu kapan waktunya tiba, tapi setidaknya kita tahu bahwa kita pernah
memberikan kontribusi untuk membuatnya menjadi nyata!
Bisa Mengaji, Bisa Jadi Apapun
Tertulis rapi dalam laluan sejarah, bahwa para tokoh islam
yang bertebarann karyanya , apapun karya-karya mereka, mereka adalah pribadi
dan sosok yang rata-rata sudah ‘beres’ dengan Al-Qur’an sejak usia dini, mereka
adalah orang-orang yang bisa mengaji sejak belia. Lihatlah nama-nama yang tidak
asing lagi, seperti Shalahuddin Al-Ayyubi yang mampu merebut Al-Quds, Muhammad
Al-Fatih yang menaklukkan konstantinopel, Al-khawarizmi yang merumuskan
aljabar, Ibnu Sina yang mengarang Al-Qonun fi Ath-Thibbnya, dan lain
sebagainya. Kita juga sama-sama mengetahui bahwa dunia ini pernah berada dalam
genggaman muslimin, dan itu terjadi ketika umat Islam berpegang teguh dengan
Al-Qur’an. Mereka tidak hanya ‘mengaji’ dalam konteks melafalkan ayat Al-Qur’an
sahaja, tapi juga ‘mengaji’ dalam arti yang lebih luas, meneliti makna-makna
tersembunyi dalam Al-Qur’an, menelisik inspirasi yang terkandung di dalamnya,
lalu menguji hipotesis yang mereka dapatkan sementara, hingga pada tahap
selanjutnya mereka menerapkan apa yang mereka pelajari dari Al-Qur’an dalam
bingkai kehidupan harian.
Pada akhirnya, saya katakan jangan terlalu mengkhawatirkan
adik-adik kita, kakak-kakak kita, teman-teman kita, atau bahkan bangsa
Indonesia ini akan jadi apa kelak. Kita perlu khawatir jika kelak anak-cucu
kita tidak paham Al-Qur’an. kita perlu cemas jika anak cucu kita tidak
mentadabburi dan tidak mengamalkan Al-Qur’an. Kita hanya perlu risau jika
mereka tidak bisa mengaji. Selama mereka bisa mengaji, tidak ada yang perlu dikhawatirkan
karena Allah telah menjamin masa depan mereka yang mampu mengejawantahkan
Al-Qur’an dalam keseharian, mengajarkan Al-Qur’an, dan pada waktunya nanti
memperjuangkan Al-Qur’an, sebagaimana termaktub dalam Q.S An-Nur ayat 25, “Dan
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan
mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan
mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang
sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang
telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan)
mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa...”
Sekali lagi, kita tidak perlu meragukan masyarakat kita
selama mereka mampu mengaji Al-Qur’an dengan benar, mengaji dalam arti yang
lebih luas tentunya, tidak sekadar melafadzkan ayat-ayat, melainkan juga yang
terpenting menjadikan Al-Qur’an sebagai bagian dari perilakunya. Apapun profesi
yang mereka jalani, apapun keahlian yang mereka miliki, apapun posisi yang
mereka tempati, apapun jabatan yang mereka duduki, apapun itu, Insya Allah,
mereka akan menjadi pribadi-pribadi yang baik, elok, dan menawan.