Kita bisa saja memberi tanpa mencinta
Tapi kita tak pernah bisa mencinta tanpa memberi
Sejenak
marilah kita menjumpai Rasulullah dan para shahabat yang sedang berehat
sejenak setelah pertempuran Hunain. Bagaimanapun ini pertempuran
dahsyat. Awal-awal, adalah kaum muslimin merasa bangga akan kekuatan dan
jumlah mereka. Dua belas ribu orang yang berbaris riang memang bukan
jumlahyang sedikit. Tetapi Allah hendak mengajarkan bahwa logika jumlah,
bukanlah segalanya. Di atas itu semua, ada keimanan dalam dada, sikap
tawadhu’ penuh waspada,dan kesatuan hati yang kokoh dalam takwa.
“Sesungguhnya
Allah telah menolong kamu (hai para mukminin) di medan peperangan yang
banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi
congkak karena banyaknya jumlah (mu), maka jumlah yang banyak itu tidak
memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa
sempit olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dengan bercerai-berai.” (Q.s at-Taubah [9]: 25)
Ini
adalah hari yang sulit. Ketika Rasulullah menyaksikan hanya para
shahabat yang tertarbiyah sejak awal risalah yang tersisa di samping
beliau. Jumlahnya sedikit. Di manakah dua belas ribu? Mereka berlari
cerai berai sementara Abu Sufyan bin Harb berteriak, “Mereka takkan
berhenti berlari sampai mencapai laut!” Beliau Saw sampai berseru
lantang, “Kembalilah kalian! Aku adalah Rasulullah! Aku putra Abdul
Muthalib!”
Akhirnya al-Abbas, paman Nabi berseru lantang memanggil kelompok-kelompok orang.“Wahai orang-orang Anshar! Wahai mereka yang telah berbaiat di bukit Aqabah!” Demikianlah satu persatu menyambut seruan, “Labbaik.. Labbaik..”
Kini situasi berbalik. Seluruh wadya kabilah Hawazin dan Tsaqif telah tercerai berai dan melarikan diri ke benteng mereka di Thaif. Mereka meninggalkan keluarga dan harta benda mereka tanpa sempat menoleh. Semula pemimpin mereka berharap bahwa membawa serta keluarga anak-anak, dan harta benda ke pertempuran akan membuat mereka berperang dengan penuh semangat. Masalahnya mereka bertaruh kekayaan. Tetapi heroisme Rasulullah dan para shahabat jauh lebih mengerikan bagi mereka dari kehilangan apapun. Mereka menyayangi nyawa.
Akhirnya al-Abbas, paman Nabi berseru lantang memanggil kelompok-kelompok orang.“Wahai orang-orang Anshar! Wahai mereka yang telah berbaiat di bukit Aqabah!” Demikianlah satu persatu menyambut seruan, “Labbaik.. Labbaik..”
Kini situasi berbalik. Seluruh wadya kabilah Hawazin dan Tsaqif telah tercerai berai dan melarikan diri ke benteng mereka di Thaif. Mereka meninggalkan keluarga dan harta benda mereka tanpa sempat menoleh. Semula pemimpin mereka berharap bahwa membawa serta keluarga anak-anak, dan harta benda ke pertempuran akan membuat mereka berperang dengan penuh semangat. Masalahnya mereka bertaruh kekayaan. Tetapi heroisme Rasulullah dan para shahabat jauh lebih mengerikan bagi mereka dari kehilangan apapun. Mereka menyayangi nyawa.
Kini tinggallah Rasulullah
membagikan rampasan perang yang terdiri atas berlembah-lembah kambing,
unta, emas, perak, dan tawanan. Pertimbangan manusiawi mengatakan, kaum
Anshar yang paling berhak mendapatkan rampasan Hunain yang memenuhi wadi
dan lembah itu. Tapi Rasulullah justru membagikannya kepada
pemuka-pemuka Thulaqaa, muallaf Mekah yang paling depan dalam melarikan
diri dari pertempuran dan berkata, “Mereka takkan berhenti berlari
sampai mencapai laut!”
Ada sesuatu yang mengganjal
setelah pembagian itu, sesuatu yang disampaikan oleh Sa’ad bin Ubadah
dan membuat orang-orang Anshar dikumpulkan di sebuah kandang kambing
raksasa. Rasulullah datang dan berbicara kepada mereka.
“Amma
ba’d. Wahai semua orang Anshar, ada kasak kusuk yang sempat kudengar
dari kalian, dan di dalam diri kalian ada perasaan yang mengganjal
terhadapku. Bukankah dulu aku datang, sementara kalian dalam keadaan
sesat lalu Allah memberi petunjuk kepada kalian melalui diriku? Bukankah
kalian dulu miskin lalu Allah membuat kalian kaya? Bukankah dulu kalian
bercerai berai lalu Allah menyatukan hati kalian?”
Mereka menjawab, “Begitulah. Allah dan Rasul-Nya lebih murah hati dan lebih banyak karunianya.”
“Apakah kalian tak menjawabku, wahai orang-orang Anshar?” Tanya beliau.
Mereka ganti bertanya, “Dengan apa kami menjawabmu Ya Rasulullah? Milik Allah dan Rasul-Nyalah anugerah dan karunia.”
Beliau
bersabda, “Demi Allah, kalau kalian menghendaki, dan kalian adalah
benar lagi dibenarkan, maka kalian bisa mengatakan padaku: Engkau datang
kepada kami dalam keadaan didustakan, lalu kami membenarkanmu. Engkau
datang dalam keadaan lemah lalu kami menolongmu. Engkau datang dalam
keadaan terusir lagi papa lalu kami memberikan tempat dan menampungmu.”
Sampai di sini air mata sudah mulai melinang, pelupuk mereka terasa panas, dan isak mulai tersedan.
Sampai di sini air mata sudah mulai melinang, pelupuk mereka terasa panas, dan isak mulai tersedan.
“Apakah
di dalam hati kalian masih membersit hasrat terhadap sampah dunia, yang
dengan sampah itu aku hendak mengambil hati segolongan orang agar masuk
Islam, sedangkan keislaman kalian tak mungkin lagi kuragukan?”
“Wahai
semua orang Anshar, apakah tidak berkenan di hati kalian jika
orang-orang pulang bersama domba dan unta, sedang kalian kembali bersama
Allah dan Rasul-Nya ke tempat tinggal kalian?”
Isak itu semakin keras, janggut-janggut sudah basah oleh airmata….
“Demi
Dzat yang jiwa Muhammad dalam genggaman-Nya, kalau bukan karena hijrah,
tentu aku termasuk orang-orang Anshar. Jika manusia menempuh suatu
jalan di celah gunung, dan orang-orang Anshar memilih celah gunung yang
lain, tentulah aku pilih celah yang dilalui orang-orang Anshar. Ya
Allah, sayangilah orang-orang Anshar, anak orang-orang Anshar, dan cucu
orang-orang Anshar” Rasulullah menutup penjelasannya dengan doa yang
begitu menentramkan.
Dan tentu, akhir dari semua ini
memesona, sememesona semua pengorbanan orang-orang Anshar selama ini,
“Kami ridha kepada Allah dan Rasul-Nya dalam pembagian ini. Kami ridha
Allah dan Rasul-Nya menjadi bagian kami”
Allahumma sholli wasallim ‘ala Muhammad..
dikutip dari buku "Baarakallaahu Laka Bahagianya Merayakan Cinta" - Salim A. Fillah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar