Minggu, 08 Februari 2015

Ada Cinta dalam Keteladanan




Kita bisa saja memberi tanpa mencinta
Tapi kita tak pernah bisa mencinta tanpa memberi

Sejenak marilah kita menjumpai Rasulullah dan para shahabat yang sedang berehat sejenak setelah pertempuran Hunain. Bagaimanapun ini pertempuran dahsyat. Awal-awal, adalah kaum muslimin merasa bangga akan kekuatan dan jumlah mereka. Dua belas ribu orang yang berbaris riang memang bukan jumlahyang sedikit. Tetapi Allah hendak mengajarkan bahwa logika jumlah, bukanlah segalanya. Di atas itu semua, ada keimanan dalam dada, sikap tawadhu’ penuh waspada,dan kesatuan hati yang kokoh dalam takwa.

“Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah (mu), maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dengan bercerai-berai.” (Q.s at-Taubah [9]: 25)

Ini adalah hari yang sulit. Ketika Rasulullah menyaksikan hanya para shahabat yang tertarbiyah sejak awal risalah yang tersisa di samping beliau. Jumlahnya sedikit. Di manakah dua belas ribu? Mereka berlari cerai berai sementara Abu Sufyan bin Harb berteriak, “Mereka takkan berhenti berlari sampai mencapai laut!” Beliau Saw sampai berseru lantang, “Kembalilah kalian! Aku adalah Rasulullah! Aku putra Abdul Muthalib!”

Akhirnya al-Abbas, paman Nabi berseru lantang memanggil kelompok-kelompok orang.“Wahai orang-orang Anshar! Wahai mereka yang telah berbaiat di bukit Aqabah!” Demikianlah satu persatu menyambut seruan, “Labbaik.. Labbaik..”

Kini situasi berbalik. Seluruh wadya kabilah Hawazin dan Tsaqif telah tercerai berai dan melarikan diri ke benteng mereka di Thaif. Mereka meninggalkan keluarga dan harta benda mereka tanpa sempat menoleh. Semula pemimpin mereka berharap bahwa membawa serta keluarga anak-anak, dan harta benda ke pertempuran akan membuat mereka berperang dengan penuh semangat. Masalahnya mereka bertaruh kekayaan. Tetapi heroisme Rasulullah dan para shahabat jauh lebih mengerikan bagi mereka dari kehilangan apapun. Mereka menyayangi nyawa.


Kini tinggallah Rasulullah membagikan rampasan perang yang terdiri atas berlembah-lembah kambing, unta, emas, perak, dan tawanan. Pertimbangan manusiawi mengatakan, kaum Anshar yang paling berhak mendapatkan rampasan Hunain yang memenuhi wadi dan lembah itu. Tapi Rasulullah justru membagikannya kepada pemuka-pemuka Thulaqaa, muallaf Mekah yang paling depan dalam melarikan diri dari pertempuran dan berkata, “Mereka takkan berhenti berlari sampai mencapai laut!”

Ada sesuatu yang mengganjal setelah pembagian itu, sesuatu yang disampaikan oleh Sa’ad bin Ubadah dan membuat orang-orang Anshar dikumpulkan di sebuah kandang kambing raksasa. Rasulullah datang dan berbicara kepada mereka.

“Amma ba’d. Wahai semua orang Anshar, ada kasak kusuk yang sempat kudengar dari kalian, dan di dalam diri kalian ada perasaan yang mengganjal terhadapku. Bukankah dulu aku datang, sementara kalian dalam keadaan sesat lalu Allah memberi petunjuk kepada kalian melalui diriku? Bukankah kalian dulu miskin lalu Allah membuat kalian kaya? Bukankah dulu kalian bercerai berai lalu Allah menyatukan hati kalian?”

Mereka menjawab, “Begitulah. Allah dan Rasul-Nya lebih murah hati dan lebih banyak karunianya.”

“Apakah kalian tak menjawabku, wahai orang-orang Anshar?” Tanya beliau.

Mereka ganti bertanya, “Dengan apa kami menjawabmu Ya Rasulullah? Milik Allah dan Rasul-Nyalah anugerah dan karunia.”

Beliau bersabda, “Demi Allah, kalau kalian menghendaki, dan kalian adalah benar lagi dibenarkan, maka kalian bisa mengatakan padaku: Engkau datang kepada kami dalam keadaan didustakan, lalu kami membenarkanmu. Engkau datang dalam keadaan lemah lalu kami menolongmu. Engkau datang dalam keadaan terusir lagi papa lalu kami memberikan tempat dan menampungmu.”

Sampai di sini air mata sudah mulai melinang, pelupuk mereka terasa panas, dan isak mulai tersedan.

“Apakah di dalam hati kalian masih membersit hasrat terhadap sampah dunia, yang dengan sampah itu aku hendak mengambil hati segolongan orang agar masuk Islam, sedangkan keislaman kalian tak mungkin lagi kuragukan?”

“Wahai semua orang Anshar, apakah tidak berkenan di hati kalian jika orang-orang pulang bersama domba dan unta, sedang kalian kembali bersama Allah dan Rasul-Nya ke tempat tinggal kalian?”

Isak itu semakin keras, janggut-janggut sudah basah oleh airmata….

“Demi Dzat yang jiwa Muhammad dalam genggaman-Nya, kalau bukan karena hijrah, tentu aku termasuk orang-orang Anshar. Jika manusia menempuh suatu jalan di celah gunung, dan orang-orang Anshar memilih celah gunung yang lain, tentulah aku pilih celah yang dilalui orang-orang Anshar. Ya Allah, sayangilah orang-orang Anshar, anak orang-orang Anshar, dan cucu orang-orang Anshar” Rasulullah menutup penjelasannya dengan doa yang begitu menentramkan.

Dan tentu, akhir dari semua ini memesona, sememesona semua pengorbanan orang-orang Anshar selama ini, “Kami ridha kepada Allah dan Rasul-Nya dalam pembagian ini. Kami ridha Allah dan Rasul-Nya menjadi bagian kami”

Allahumma sholli wasallim ‘ala Muhammad.. 

dikutip dari buku "Baarakallaahu Laka Bahagianya Merayakan Cinta" - Salim A. Fillah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar