“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang beriman untuk
tunduk hati mereka guna mengingat Allah serta tunduk kepada kebenaran yang
telah turun (kepada mereka)....” (QS. Al
Hadid: 16)
Lelaki itu diam tergugu,
mulutnya membisu, tubuhnya yang perkasa bergetar hebat, seakan tubuhnya dilolosi
satu persatu, lemah lunglai. Lalu tak terasa air matanya berderai. Entah siapa
pelantun ayat bersuara merdu tersebut, seakan-akan ia baru pertama kali
mendengar ayat di atas. Malam ini, niat menemui wanita pujaan hatinya ia
urungkan. “Tentu saja wahai Rabbku, telah tiba saatnya.” Katanya.
Ia percepat langkah pulangnya. Namun, sayup-sayup ia
mendengar sekelompok orang berkata, “Mari kita putar arah, karena biasanya
Fudhail akan menghadang kita di jalan ini.” Lelaki itu merenung dalam diam, “Bagaimana mungkin namaku disebut-sebut di malam hari
dalam perkara maksiat, dan mereka merasa takut kepadaku. Allah tiada menunjukkan ini kepadaku, melainkan agar aku sadar. Ya Allah, kini aku
bertaubat kepada-Mu.”
Sejak malam itu, penyamun professional itu
bertekad kuat, memutuskan untuk bertubat. Ia kemudian menyibukkan diri dengan
belajar dan mengajarkan ilmu, dan menjadi ulama’ senior di kalangan tabi’in, seorang
yang faqih, dan ahli hadits. Ia lah Fudhail bin Iyadh rahimahullah.
Banyak orang yang mengalami masa-masa kelam dalam
hidupnnya, tapi yang bertaubatlah, berdasarkan ujaran Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, yang disebut terbaik. Kisah taubatnya Fudhail bin Iyadh ini
menjadi salah satu teladan dalam hijrah dan perbaikan diri. Sekelam apapun masa
lalu seseorang, Ia tetap dapat menatap cerahnya masa depan. Allah lah Dzat Yang
Maha Pengampun dan Pemberi Taufik.
Hijrah berasal dari kata hajara. Di dalam Al-Qur’an,
hijrah memiliki 4 makna sesuai konteksnya, yaitu ‘azala
(meninggalkan), seperti dalam firman Allah (yang artinya) “..dan tinggalkanlah mereka dengan cara yang baik”
(QS. Al-Muzzammil: 10); intaqola
min baladin ila baladin (pindah negeri), seperti termaktub dalam ayat
(yang artinya), “Barangsiapa berhijrah pindah
ke negeri lain demi agama Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini
tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak” (QS. An-Nisaa’: 100);
sabba (tidak mengacuhkan dan mencela), seperti dalam firman Allah
(yang artinya), “Berkatalah Rasul, ‘Ya Rabbku,
sesungguhnya kaumku menjadikan Al Quran itu sesuatu yang tidak diacuhkan
(sasaran celaan)" (QS. Al-Furqon: 30); dan tahwiilul wajhi
fil firoosyi ‘aniz zawjati (memisahkan atau membelakangi istri di tempat
tidurnya) seperti dalam firman Allah (yang artinya), “...dan hendaklah kalian membelakangi mereka (pisahkan
istri-istri kalian) di tempat tidurnya..” (QS. An-Nisaa’: 34).
Secara syar’i, hijrah dapat dimaknai dengan makna umum
dan khusus. Pengertian yang bersifat umum, yaitu meninggalkan apa-apa yang
dibenci Allah, dan berpindah menuju apa-apa yang dicintai-Nya. Sedangkan makna
hijrah secara khusus, sebagaimana dinyatakan oleh Ibu Rajab al-Hambali, yaitu meninggalkan
negeri syirik dan berpindah menuju ke negeri Islam.
Pada kesempatan kali ini, saya hanya akan membahas
pengertian hijrah yang bersifat umum saja agar tetap sesuai dengan konteks
pembahasan. Adalah Nabi kita, shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menyampaikan
seruannya yang diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu, “Seorang
muslim adalah orang yang Kaum Muslimin selamat dari lisan dan tangannya, dan
orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh
Allah” (Shahih Bukhori, dalam Kitabul Iman).
Melalui hadits tersebut, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam menerangkan bahwa hakikat keislaman adalah ketundukpatuhan
terhadap Allah dan pemenuhan hak sesama muslim. Dan menurut syaikh Abdurrahman
bin Nashir As-Sa'di rahimahullah, hadits ini juga menunjukkan hukum
hijrah yang fardhu ‘ain bagi
setiap muslim, yaitu hijrah meninggalkan dosa dan kemaksiatan, meninggalkan
bujukan-bujukan nafsu untuk berbuat maksiat, dan sebagai gantinya melakukan
berbagai ketaatan. Inilah hijrah menuju Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana
Fudhail bin Iyadh yang mengurungkan niatnya untuk menemui wanita pujaannya, dan
sebagaimana ia berteguh hati meninggalkan kebiasaanya menghadang orang-orang di
jalanan dan menyamun harta meraka.
Makna hijrah yang dimaksud disini hampir mirip dengan
makna taqwa yang kita kenal, yaitu melakukan perintah Allah dan menjauhi
larangannya. Ketika Allah menyuruh mukminin dengan taqwa, Allah berfirman (yang
artinya), “Maka bertakwalah kamu kepada Allah
menurut kesanggupanmu...” (QS. At-Taghabun: 16). Ibnu Katsir
menafsirkan ayat ini, “Maksudnya, berdasarkan usaha dan tenaga kalian,
sebagaimana ditegaskan dalam kitab Ash-shahihain, dari Abu Hurairah, radhiyallahu
‘anh, dia berkata, Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam telah
bersabda, ‘Apabila aku perintahkan kalian untuk mengerjakan sesuatu, maka
kerjakanlah sesuai kemampuan kalian, dan apa yang ku larang bagi kalian, maka
tinggalkanlah.’
Jadi, maksud dari bertaqwa menurut kesanggupan adalah
melakukan perintah Allah dengan semaksimal mungkin, dan meninggalkan larangan
Allah semuanya, tanpa terkecuali, karena meninggalkan larangan Allah tidaklah
membutuhkan modal, seperti meninggalkan zina, mencuri, korupsi, berjudi, dan
lain sebagainya. Ini tidaklah membutuhkan modal. Lain halnya dengan menjalankan
perintah Allah yang terkadang masih membutuhkan modal, seperti menunaikan
zakat, melakukan haji ke Baitullah Al-Haram, memberi makan orang yang
kelaparan, mengajarkan suatu ilmu, dan seterusnya. Ini semua tentu membutuhkan
modal yang tidak sedikit. Dari uraian tersebut, jelaslah sudah mengapa hijrah
dalam konteks ini merupakan sebuah keniscayaan, dan kewajiban hijrah ini
berlaku bagi setiap muslim, bagaimanapun dan kapanpun.
Lebih jauh lagi, Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah menyebutkan
dalam Adh-Dhau’ Al-Munir’ala At-Tafsir bahwa pokok hijrah mencakup dua
hal, yang jika tidak terdapat keduanya dalam diri seseorang, maka hijrahnya
tidak sempurna. Dua hal ini adalah benci dan cinta. Maksudnya, seseorang
meninggalkan apa yang dibenci oleh Allah, dan melakukan apa yang dicintai oleh-Nya,
Ia membenci maksiat dan lebih mencintai ketaatan. Inilah yang disebut juga dengan
Al-firar ilallah (berlari menuju Allah), dalam hal ini Allah berfirman
(yang artinya), “Maka berlarilah menuju Allah..” (QS. Adz-Dzaariyat: 50). Dalam tafsirnya, As-sa’di rahimahullah
mengomentari ayat ini, “Maksudnya yaitu bergegas meninggalkan apa
yang menjadi larangan Allah, baik secara batin maupun dhohir, menuju apa yang
diperintahkan oleh Allah, baik secara batin maupun dhohir.”
Seorang yang berhijrah, ia bergegas dari adzab Allah
menuju pahala-Nya. Dari kemunafikan menuju keikhlasan. Dari bid’ah menuju
ittiba’ (mengikuti tuntunan). Dari berbuat dosa dan maksiat menuju
ketaatan. Dari kelalaian hati menuju dzikrullah. Dari kekafiran dan kesyirikan
menuju keimanan kepada Allah. Ia benci jika kembali kepada kekafiran
sebagaimana bencinya jika ia dicampakkan ke dalam neraka. Jika seseorang sudah
seperti ini, barulah ia akan merasakan betapa manisnya iman. Hatinya akan
meleleh penuh cinta atas kasih sayang-Nya karena diselamatkan dari kekufuran. Hal ini senada dengan hadits yang diriwayatkan shahabat Anas bin Malik radhiyallahu
‘anhu, ia menceritakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
menuturkan, "Ada 3 hal, yang jika ada pada diri seseorang, ia akan merasakan
manisnya iman, yaitu Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selainnya; mencintai
seseorang, ia tidak mencintainya kecuali karena Allah; dan benci untuk kembali
kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkan darinya, sebagaimana bencinya jika
dicampakkan ke dalam neraka." (Muttafaq 'alaih).
Manisnya iman inilah yang membuat shahabat Bilal tetap
tegar ketika disiksa dibawah terik matahari yang menyengat, dengan batu
menindih tubuhnya. Kata yang keluar darinya hanyalah, Ahad! Ahad! Ahad!
Manisnya Iman inilah yang membuat Nabi Nuh alaihissalam
tetap berbulat hati meninggalkan istri dan anaknya yang kafir. Inilah yang
membuat Nabi Luth alaihissalam rela berpisah bersama pasangan hidupnya.
Begitu pula Asiyah binti Muzahim, Istri Fir’aun, ia tak menuruti keberatan
hatinya untuk berpisah dengan suaminya. Tak ketinggalan kisah mengenai Abu
Bakar yang dengan tegas menghunuskan pedang untuk putranya yang kafir saat
Perang Badar.
Ini pulalah yang menjadikan Sa’ad bin Abi Waqqosh, Mus’ab
bin Umair, dan Asma’ dengan tegas bersikap kepada orang tua yang berlainan
‘aqidah dengan mereka. Tentunya tanpa meninggalkan adab agung yang diajarkan
Allah dalam surat Luqman ayat 14-15.
Merupakan suatu keniscayaan bagi seorang yang sudah
menautkan azzam untuk berhijrah dan perbaikan diri melakukan berbagai hal
berikut, yaitu hendaknya ia menjauhi para pelaku maksiat dan memutus segala hal
yang dapat menjadi perantara untuk kembali pada maksiat tersebut, kemudian mencari
tahu dan mengetahui mengapa ia harus meninggalkannya, apa saja dampak yang akan
ditimbulkan, dan bagaimana celaan Allah dan Rasul-Nya bagi pelakunya. Lalu ia
juga harus mencari tahu dan mengenal berbagai bentuk ketaatan sebagai gantinya,
bagaimana pujian Allah dan Rasul-Nya bagi pelakunya, dan berusaha berteman
dengan orang-orang yang shalih. Yang tak kalah penting adalah berdo’a agar
Allah memberinya keistiqomahan dalam kebaikan, memberinya hati yang sehat,
sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Qayyim Al Jauziyyah dalam Al-Fawaaid, “Carilah
hatimu di tiga tempat ini, di saat engkau mendengarkan Al Qur’an, di saat
engkau berada di majlis dzikir (majlis ilmu), dan di saat engkau menyendiri
bermunajat kepada Allah. Jika engkau tidak temukan hatimu di sana, maka
mintalah kepada Allah agar memberimu hati karena sesungguhnya engkau sudah tak
punya lagi hati!”
Sebagai contoh, misalnya ada seseorang yang mempunyai kebiasaan
menonton film dan tayangan porno. Ketika ia berniat untuk meninggalkan
kebiasaan buruknya, maka pertama ia harus menghapus semua file dan video di
laptop, flashdisk, atau hardisknya yang berbau pornografi. Lalu ia mencari tahu
apa saja dampak yang bisa ditimbulkan dari melihat tayangan porno bagi otak dan
perilaku seseorang, dan mengapa islam melarangnya. Selanjutnya ia harus mencari
kebiasaan baik sebagai gantinya, agar tidak terjerumus ke dalam maksiat serupa,
semisal menonton video-video taushiyah atau menyibukkan diri untuk membaca buku
atau karya-karya ulama, dan lain sebagainya. Dan bahkan, kalau perlu ia bisa
menjual laptop atau hardisknya setelah sebelumnya ia menghapus konten
pornografi, kemudian uangnya bisa disedekahkan kepada fakir miskin, sembari
berdoa memohon kepada Allah agar diberikan istiqomah, dan membiasakan berpuasa.
Atau jika ia sudah siap dan memiliki kemampuan untuk menikah, handaknya ia
segera menikah sebagaimana yang dinasihatkan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam. Hal itu akan lebih menjaga kemaluannya dan lebih mampu
untuk menahan pandangannya dari yang tidak selayaknya dipandang.
Contoh lainnya lagi, misalnya ada seseorang anak band
yang mempunyai suara emas. Kesehariannya dihabiskan dengan memainkan gitar,
naik turun panggung menyanyikan lagu-lagu yang liriknya menimbulkan syahwat dan
penuh kesiaan. Suatu ketika ia menyadari kealpaanya dan ia ingin berhijrah
menjadi pribadi yang lebih baik, maka hendaknya ia menjauhi musik-musik
tersebut semaksimal mungkin, mencari tahu dan mengenali bagaimana musik dan nyanyian
yang dibolehkan secara syara’, kemudian selanjutnya ia melakukan kebiasaan
pengganti yang lebih baik, misalnya menggunakan suara merdunya untuk
melantunkan dan menghafalkan ayat-ayat Allah. Atau mulai mempelajari dan
mengikuti kajian-kajian ilmiah, berlatih menyampaikan khutbah dan taushiyah,
dan seterusnya. Hendaknya ia juga menyibukkan diri dengan belajar dan berkarya,
karena jika seseorang tidak disibukkan dengan hal baik, sudah barang tentu ia
akan disibukkan dengan kemungkaran atau perbuatan sia-sia. Tak lupa juga, agar
selalu memohon hidayah kepada Allah ta’ala agar terus diberikan
istiqomah. Alangkah indahnya jika seseorang bisa melakukan hal tersebut!
Termasuk dalam lingkupan hijrah adalah bersikap tunduk
patuh kepada syariat Allah. Seseorang yang berhijrah harus meyakini bahwa apa
yang diperintahkan Allah dan apa yang Allah larang adalah pasti benar dan
tepat. Tidak ada tawar-menawar dalam meninggalkan kemaksiatan atau dalam
melakukan perintah-Nya. Walaupun mungkin pada awalnya berat, tapi pasti ada
hikmah yang ingin Allah tunjukkan pada akhirnya. Allah berfirman (yang
artinya), “Dan tidaklah pantas
bagi orang yang beriman lelaki atau perempuan, untuk memiliki pilihan lain dari
urusan mereka pada saat Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara. Barangsiapa yang durhaka kepada
Allah dan Rasul-Nya sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang amat nyata” (QS. Al Ahzab : 36).
Untuk itulah, sekali lagi, seseorang yang berhijrah perlu
mempelajari dan mengetahui berbagai keutamaan dan fadhilah amal, sehingga ia
dapat terus termotivasi dan beristiqomah dalam kebaikan, bi idznillah. Mudah-mudahan Allah mampukan kita untuk
terus melakukan hijrah dan perbaikan diri di setiap saat, hingga akhirnya kita
berjumpa dengan Allah dengan keadaan khusnul khotimah. Aamiin. Wallahu
A’lam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Muhammad
Ibrahim. 2003. Hijrah wa
al-Muhajirin fi al-Qur’an wa as-sunnah. Cairo: Muassasah Mukhtar li an-Nasyr al-Tawzi’.
Al-Imam Abu Abdillah
Muhammad bin Abi Bakr Ibnul Qoyyim Al Jauziyyah. 2004. Al-Fawaaid. Kairo: Darul Aqiidah.
Al-Imam Abu Abdillah
Muhammad bin Abi Bakr Ibnul Qoyyim Al Jauziyyah. 2008. Adh-Dhau’ al-Munir ‘ala
at-Tafsir. Riyadh : Maktabah
Daarus Salaam
Al-Imam Abul Fida
Ismail Ibnu Katsir. 2000. Tafsir Al-Qur’anil
‘Adhiim (diterjemahkan oleh
Bahrun Abu Bakar). Bandung: Sinar Baru Algesindo
Quthb, Sayyid. 2002. Tafsir Fii Zhilalil Qur’an, Di
Bawah Naungan Al-Qur’an
(diterjemahkan oleh As’ad Yasin). Jakarta: Gema Insani Press
Thalib, Muhammad.
2007. Kamus Kosakata
Al-Qur’an. Yogyakarta: Penerbit
Uswah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar