Jumat, 24 Juni 2016

Aleppo, Kota Bersejarah Yang (Tidak) Tinggal Sejarah






“Syria is our country and we want to go back there. We don’t know who is right and who is wrong, but I know we civilians are paying the price,” (Hiba, pengungsi Suriah di Lebanon)

Aleppo, atau disebut dengan Halab merupakan salah satu kota terbesar di Suriah. Aleppo termasuk salah satu kota tertua di dunia yang penuh sejarah. Ia menjadi bukti keberanian Khalid bin Walid ketika menaklukkannya pada tahun 634 masehi. Ia menjadi saksi kejayaan Daulah Umayyah, dimana Al-Walid I pada awal abad ke-8 membangun sebuah masjid terbesar di Suriah. Masjid Agung Aleppo. Ia juga menjadi saksi kegagahan Shalahuddin Al-Ayyubi dan dinasti Ayyubiyah yang memegang kendalinya hingga abad ke-11.

Banyaknya pergulatan kekuasaan dan pertempuran yang terjadi di Aleppo, tak lain bersebab Aleppo merupakan salah satu kota yang punya peran strategis dalam bidang ekonomi, sejarah, politik, dan kebudayaan dunia. Aleppo pernah beberapa kali berpindah tangan dalam sejarahnya, mulai Bani Fathimiyah, bangsa Seljuk, Romawi, dan Turki. Tercatat pada tahun 1280-an, pasukan Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan pernah mengambil alih kota ini, mereka menjarah pasar, dan membakar masjid, sehinggga kaum muslimin saat itu harus melarikan diri ke Damaskus. Terdapat pula bangunan Krak des Chevaliers, benteng terkuat pasukan salib yang dibangun antara abad ke 12 dan 13 ini sangat ditakuti, pada akhirnya bisa ditembus oleh Sultan Baibars dari Kesultanan Mamluk tahun 1271.

Beberapa tahun terakhir, sejak pemerintahan Suriah dikuasai oleh rezim Syi'ah Nushairiyah, protes anti-rezim Bashar Assad mulai nampak. Hingga pada Februari 2012, pertempuran menjadi tak terelakkan antara kelompok Sunni-Syi’ah. Aleppo membara. Bentrokan, ledakan bom, dan baku tembak terjadi. Pertempuran Sunni-Syiah terus berlanjut. Pada akhir 2013, pasukan rezim Syi’ah Nushairiyah menggiatkan serangan udara dengan bom barel yang mematikan di Aleppo. Gencatan senjata memang sempat digulirkan, tetapi tidak bertahan lama karena pertempuran kembali bergejolak. Rusia pun tak mau kalah ikut mendukung rezim Nushairiyah sejak 2015.

Kini, Aleppo tengah dirundung duka, Aleppo sedang membara. Aleppo memerah darah. Serangan bertubi-tubi oleh rezim Nushairiyah selama lebih dari dua pekan tanpa henti telah menyebabkan lebih dari 200 orang harus meregang nyawa dalam sepekan terakhir, sementara ratusan lainnya luka-luka. Ratusan situs bersejarah, masjid, rumah sakit, dan pasar hancur, luluh lantak, rata. Masjid Agung Aleppo yang berusia lebih dari 1000 tahun pun tak luput terkena dampaknya, masjid ini juga ikut hancur. Belasan ribu keluarga sipil tengah tertatih-tatih di tengah bangunan yang tinggal puing-puing, terjebak dalam gempuran perang. Kelaparan dan kesulitan air bersih menjadi hal yang merata. Di tengah keadaan yang genting dan mencekam tersebut, ternyata tenaga kesehatan dan dokter juga sangat minim, berdasarkan data dari Medicine Sans frontiers (MSF) hanya ada 70-80 orang dokter dan tenaga kesehatan yang masih bertahan di Aleppo saat ini. Jumlah ini hanya 5 persen dari total jumlah tenaga kesehatan yang seharusnya, sebagian besar mereka sudah meninggalkan Aleppo.

Yang lebih mencengangkan, menurut United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), akibat pertempuran yang tiada berhenti, lebih dari 10.000 orang telah tewas per April 2016, dan lebih dari 4,8 juta orang terpaksa mencari suaka dengan mengungsi, diantaranya ke Turki, Lebanon, Yordania, Irak, Mesir, Afrika Utara, dan Eropa.

Dunia seakan bungkam menyaksikan krisis kemanusiaan yang terjadi di Suriah. Televisi dan media kita juga diam, tidak ada riuh kabar yang terdengar, seolah bencana kemanusiaan di Suriah tiada menjadi urusan. Yang penting rating tinggi dan keuntungan meningkat. Namun, di tengah kebisuan ini, kita pantas bersyukur karena ada orang-orang yang masih peduli, bersuara, dan bergerak mengulurkan bantuan. Hati mereka saling terpaut satu sama lain atas dasar keimanan. Ribuan kilometer jarak yang memisahkan mereka tidak membuat hati mereka menjauh. Perbedaan ras dan usia juga tidak membuyarkan keinginan untuk membantu. Perbedaan bahasa tidak membuat hati mereka mengeras membatu. Inilah iman! hanya Allah lah yang Maha Mampu untuk membuat hati-hati mereka bertaut mesra dalam ukhuwah...

“Seandainya engkau berinfak sepenuh bumi, engkau tak kan bisa menyatukan hati mereka, tapi Allah lah yang menyatukan.” (Al-Anfal: 63).

Kita memohon kepada Allah agar menyatukan hati kaum muslimin, mengokohkan langkah juang mereka, dan memperbaiki kondisi mereka dimanapun berada, khususnya mereka yang berada di Aleppo. Allah lah sebaik-baik penolong dan pelindung.. Wallahul Musta'an.

"Ya Allah, satukan hati orang-orang beriman dan satukan kalimat mereka atas agamaMu! perbaikilah urusan diantara mereka, tolonglah mereka terhadap musuh-musuhmu dan musuh-musuh mereka.."

Referensi gambar: http://www.dw.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar